Total Tayangan Halaman

Kamis, 19 November 2015

SEJARAH ISLAM DI PRANCIS

Pada tahun 91-94 H, umat Islam melalui panglima perang mereka Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad berhasil menaklukkan Andalusia.1 Kekuasaan tersebut sampai di daerah Asturies di Propinsi Galicia hingga ke Teluk Biscay, pantai Prancis. Walaupun secara de facto kekuasaan umat Islam belumlah sampai pada daerah-daerah pedesaan dari wilayah yang telah dikuasai. Hal itu dikarenakan medannya yang sulit dan cuaca yang begitu dingin.
Wilayah Prancis
27 Kerajaan di Prancis
Dulu wilayah Prancis terbagi menjadi 27 Kerajaan kecil.
Dahulu, Prancis adalah sebuah wilayah yang terdiri dari 27 kerajaan kecil. Orang-orang mengenal mereka yang tinggal di daerah tersebut dengan sebutan orang-orang Gaul atau Gallia. Wilayah ini terdiri dari 5 kawasan:
Pertama: wilayah Septimania adalah wilayah Barat dari propinsi Romawi, Gallia Narbonensis. Daerah ini pernah dikuasai oleh bangsa Visigoth atau bangsa Goth dengan raja mereka Theodoric II. Wilayah ini terdiri dari tujuh kota dengan Narbonne sebagai ibu kotanya.
Kedua: wilayah Aquitaine terletak di barat daya Prancis sekarang, di sepanjang Samudera Atlantik dan Pegunungan Pyerenees yang merupakan pagar batas wilayah Spanyol. Bordeaux adalah ibu kotanya.
Ketiga: wilayah Aix-en-Provence letaknya 30 Km Utara Marseille dan Kota Avignon adalah ibu kotanya.
Keempat: wilayah Burgundi terletak di wilayah timur Prancis.
Kelima: wilayah utara Sungai Loire, sungai terpanjang di Prancis.
Muslim Pertama di Prancis
Setelah mengetahui bahwasanya Prancis di masa dahulu dan Eropa secara umum terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang saling bermusuhan dan saling berperang, maka tidak heran kedatangan umat Islam pun menimbulkan reaksi yang keras dari mereka.
Umat Islam pertama yang mengadakan kontak senjata dengan orang-orang Gaul atau Gallia adalah pasukan as-Samah bin Malik al-Khaulani pada tahun 100-102 H. Saat itu, umat Islam berhasil mengusai wilayah Narbone hingga mencapai kota Toulouse. Hingga akhirnya ia berhasil menguasai wilayah Septimania secara keseluruhan. Dan berdirilah pemerintahan Islam di wilayah tersebut.
Setelah itu, ia menjadikan Narbone sebagai pusat pemerintahan dan pusat kekuatan militer untuk menghadapi serangan orang-orang Gallia yang lain. Dalam penyerangan terhadap wilayah Aquitaine, as-Samah dan sejumlah besar pasukannya gugur di wilayah dekat Toulouse. Peristiwa ini terjadi pada pada hari Arafah tahun 102 H (Tarikh al-Ulama wa ar-Ruwwat oleh Ibnu al-Fardhi, 1:230).
Apa yang telah dilakukan oleh as-Samah diteruskan oleh Anbasah bin Sahim al-Kalbi pada tahun 107-110 H. Anbasah berkuasa pada tahun 103 H, dan ia merupakan orang yang sama dengan as-Saham dalam keshalehan dan kekuatan. Selama empat tahun awal pemerintahannya, Anbasah sibuk mengatur tata negaranya, mengadakan pembangunan dan persiapan di bidang militer untuk berhadapan dengan orang-orang (Frank) Eropa.Septimania
Anbasah berhasil membawa pasukannya menyeberangi Pegunungan Pyerenees, menguasai tujuh kota di Septimania dan menaklukkan wilayah Aix-en-Provence hingga sampai di Kota Lyon. Setelah itu ia mengakspansi daerah-daerah berikutnya hingga pasukannya menerobos 70 Km bagian selatan Kota Paris. Keberhasilan ini adalah jarak terjauh yang dicapai oeh kaum muslimin. Belum pernah ada dari kalangan umat Islam yang melakukan apa yang Anbasah lakukan. Saat hendak kembali, ia diserang oleh pasukan besar bangsa Frank, hingga ia pun gugur dalam pertempuran tersebut. Peristiwa itu terjadi pada tahun 107.
Setelah Anbasah wafat, Adzrah bin Abdullah al-Fahri menggantikannya. Ia membawa kaum muslimin kembali menuju Narbonne dan memerintah di sana hingga bulan Rabiul Awal tahun 110 H (Ma’alim Tarikh al-Maghrib wa al-Andalus oleh Husein Mu’nis, Hal: 254).
Pencapaian Anbasah ini begitu berpengaruh di hati bangsa Frank. Seluruh dataran Eropa mulai merasakan kewibawaan umat Islam. Mereka pun serius mempersiapkan diri, menggalang kekuatan menghadapi umat Islam. Kekuatan militer mereka perkokoh. Kerja sama antara mereka pun ditingkatkan untuk menghadapi umat Islam.
Abdurrahman al-Ghafiqi
Setelah berlalu tujuh pemimpin yang memerintah Andalus (725-730 H atau 107-112 M), mulailah terjadi terjadi ketidakstabilan dan perselisihan antara umat Islam di sana. Lalu pada bulan Shafar 112 H, diangkatlah Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi sebagai gubernur Andalus. Ini adalah untuk kedua kalinya ia memimpin Andalusia. Ia adalah pimpinan Andalusia yang terkenal paling berpengaruh, adil, shaleh, dan cakap.
Pada awal kepemimpinannya yang kedua ini, selama hamper satu tahun ia sibuk memperbaiki permasalahan dalam negeri. Setelah itu, barulah ia mengumandangkan jihad melawan orang-orang Frank
Pada awal tahun 114 H/732 M, Abdurrahman al-Ghafiqi memimpin pasukannya menyusuri jalur selatan, melewati Pegunungan Albert dari jalur Pamplona menuju Aquitaine yang merupakan wilayah terluas Ghalia atau Prancis di waktu itu. Lalu al-Ghafiqi dan pasukannya berhasil masuk ke Kota Bordeaux. Kemudian melewati Sungai Loire dan mengusai dua kota di sana, Poiters dan Tours. Mereka pun melanjutkan ekspansi hingga ke Paris. Sampai akhirnya, al-Gahfiqi dikejutkan dengan pasukan Frank dalam jumlah besar yang dipimpin oleh Charles Martin. Terjadilah perang besar yang dikenal dengan Perang Balath Syuhada.
Perang Balath Syuhada2
Balath adalah sebuah daerah 20 Km di selatan Poiters, melewati jalan-jalan Tours Utara, dan dekat dengan wilayah Rumania. Pada akhir bulan Sya’ban 114 H bertepatan dengan Oktober 732 M, terjadilah sebuah pertempuran besar di wilayah tersebut. Sebuah peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dan orang-orang Frank. Orang-orang Barat mengenal perang ini dengan The Batle of Tours atau yang kemudian dikenal dengan Moussais-la-Bataille.
Di antara indikator yang menunjukkan besarnya perang ini adalah perang terjadi selama 8 hari. Padahal ini adalah perang terbuka, bukan gerilya. Dan ini adalah perang kolosal, bukan perang modern yang bisa berlangsung dengan jarak jauh. Balath Syuhada adalah perang dimana pedang-pedang saling bertemu, panah dan tombak berterbangan menghujam sasarannya. Saat itu, kesabaran umat Islam benar-benar diuji. Demikian juga Niat jihad dan mental mereka. Orang-orang Frank dan Nasrani dari Jerman, Hungaria, dan Rumania bersatu menghadapi Abdurrahman al-Ghafiqi dan pasukannya.
Peperangan ini berakhir dengan kekalahan kaum muslimin dan Abdurrahman al-Gahfiqi gugur dalam peperangan ini, dihujam oleh anak panah. Karena anyaknya umat Islam yang gugur dalam perang ini, maka ia dinamakan Balath Syuhada. Pada malam hari, saat perang berhenti, kaum muslimin kembali ke daerah mereka di Septimania.
Perang ini adalah perang terbesar antara umat Islam dan Nasrani Eropa, bahkan ada yang mengatakan antara dunia Timur dan Barat. Kekhalahan yang diderita umat Islam di Balath menjadi penyebab perkembangan Islam di Eropa terhambat. Salah seorang orientalis, Henry de Syambon, menyatakan kekalahan umat Islam di Balath membuat orang-orang Eropa terlambat mengenal peradaban. beda halnya dengan Andalusia. Dan juga kekalahan di Balath Syuhada juga menjadi faktor terbesar yang meruntuhkan Andalusia di kemudian hari. Oleh karena itu, ekspansi yang dilakukan umat Islam di zaman dahulu bukanlah sebuah ambisi memperluas daerah atau menambah perbendaharaan harta. Namun hal itu dikarenakan tindakan provokatif yang dilakukan oleh orang-orang non muslim, ekspansi Islam juga ditujukan untuk mempertahankan wilayah Islam dari ancaman dan serangan orang-orang non muslim.
Menurut Ali bin Thahir as-Sulami (1036-1106 M), seorang ulama Syafi’iyah yang hidup tatkala terjadinya Perang Salib, “Setiap tahun bagi seorang pemimpin muslim harus mengadakan ekspedisi ke luar dari kawasan negerinya, bukan untuk keserakahan atau mencari harta rampasan perang dari musuh, tetapi bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan wilayah-wilayah Islam dari ancaman dan agresi militer non muslim. Cara demikian selain memiliki dampak psikologis untuk membuat para musuh Islam tidak punya nyali memusuhi umat Islam, juga menciptakan kestabilan militer umat Islam.” (al-Kamil fi at-Tarikh oleh Ibnul Atsir, 8:397).

0 komentar:

Posting Komentar