Kerajaan Kutai Martadipura merupakan salah satu Kerajaan bercorak Hindu yang didirikan sekitar abad ke-4 dan terletak di Kecamatan Muara Kaman, tepatnya di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Nama Kerajaan Kutai sendiri tidak secara jelas disebutkan dalam prasasti manapun, dan merupakan nama yang diberikan oleh para ahli. Nama Kutai digunakan berdasarkan tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut, karena memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh akibat kurangnya sumber sejarah Kerajaan Kutai ini.
Sejarah Melalui Yupa
Informasi didapatkan para ahli sejarah dari yupa yang digunakan dalam upacara pengorbanan dari abad ke-4. Untuk menginterpretasikan Sejarah Kerajaan Kutai sendiri, para ahli menjadikan tujuh buah yupa sebagai sumber utama. Dari salah satu yupa yang diteliti tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu bernama Mulawarman yang dicatat karena kedermawanannya terhadap kaum Brahmana dengan memberikan 20.000 ekor sapi kepada mereka.
Informasi didapatkan para ahli sejarah dari yupa yang digunakan dalam upacara pengorbanan dari abad ke-4. Untuk menginterpretasikan Sejarah Kerajaan Kutai sendiri, para ahli menjadikan tujuh buah yupa sebagai sumber utama. Dari salah satu yupa yang diteliti tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu bernama Mulawarman yang dicatat karena kedermawanannya terhadap kaum Brahmana dengan memberikan 20.000 ekor sapi kepada mereka.
Asal Mula Kerajaan Kutai dimulai oleh pendirinya, yaitu Kudungga dan dilanjutkan oleh anaknya, Aswawarman. Menurut prasasti yupa yang ditemukan, saat Aswawarman turun dan digantikan oleh anaknya, Mulawarman, barulah Kutai mencapai era kejayaan mereka. Meski begitu, setelah era Mulawarman berakhir berakhirlah pula cerita tentang Kerajaan Kutai Martadipura seakan-akan mereka tidak lagi ada. Hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi dari pihak dalam Kerajaan dengan dunia luar, menyebabkan sangat sedikitnya orang yang pernah mendengar nama Kerajaan ini.
Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Agama Kerajaan Kutai
Letak kerajaan Kutai yang terletak di jalur perdagangan Cina dan India membuat aktivitas jual beli menjadi salah satu mata pencarian utama rakyat Kutai. Tidak hanya melayani perdagangan dalam negeri di Laut Jawa dan Indonesia Timur, mereka juga melayani perdagangan Internasional dan menjual barang-barang dari dalam negeri yang banyak dicari di luar sana.
Letak kerajaan Kutai yang terletak di jalur perdagangan Cina dan India membuat aktivitas jual beli menjadi salah satu mata pencarian utama rakyat Kutai. Tidak hanya melayani perdagangan dalam negeri di Laut Jawa dan Indonesia Timur, mereka juga melayani perdagangan Internasional dan menjual barang-barang dari dalam negeri yang banyak dicari di luar sana.
Kerajaan Kutai menceritakan masyarakatnya hidup tertata dan teratur. Sama seperti India, masyarakat di Kerajaan Kutai juga terbagi menjadi beberapa kasta karena dari terjemahan prasasti-prasasti banyak ditemukan bukti bahwa dalam masyarakat Kutai terdapat golongan Brahmana. Selain Brahmana, ditemukan juga golongan Ksatria yang terdiri dari raja dan kerabat-kerabat dekatnya. Ada juga cerita yang mengatakan bahwa anak cucu Kudungga melakukan upacara Vratyastima untuk menyucikan diri sebagai syarat masuk kasta Ksatria. Hal ini dibuktikan dari adanya kata “warman” di hampir setiap nama raja. Kata “warman” sendiri merupakan kata yang ditambahkan melalui upacara penobatan raja di agama Hindu.
Era Akhir Kutai Martadipura
Pada awal abad ke-13, di daerah yang bernama Tepian batu atau Kutai Lama, berdiri sebuah Kerajaan yang diberi nama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan raja pertamanya yaitu Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dengan munculnya Kerajaan baru yang juga berdiri di kawasan sungai Mahakam, masalah mulai muncul di antara keduanya hingga pada abad ke-16, pertempuran besar pecah diantara ke dua Kerajaan Kutai ini.
Pada awal abad ke-13, di daerah yang bernama Tepian batu atau Kutai Lama, berdiri sebuah Kerajaan yang diberi nama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan raja pertamanya yaitu Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dengan munculnya Kerajaan baru yang juga berdiri di kawasan sungai Mahakam, masalah mulai muncul di antara keduanya hingga pada abad ke-16, pertempuran besar pecah diantara ke dua Kerajaan Kutai ini.
Perang besar yang terjadi dengan Kutai Kartanegara dipimpin oleh raja ke-13 bernama Aji Pangeran Sinum Panji yang pada akhirnya menutup sejarah dari Kerajaan Kutai Martadipura. Rajanya saat itu, Maharaja Dharma Setia, tewas di tangan musuhnya dan menandakan kekalahan pasukan Kutai Martadipura. Setelah peristiwa tersebut, Kerajaan Kutai Kartanegara berhasil menguasai seluruh wilayah Kerajaan Kutai Martadipura dan mengubah nama Kerajaan mereka menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kerajaan Kutai Kartanegara inilah yang disebut dalam sastra Jawa sebagai Negarakertagama.
Era Kerajaan Kutai Kartanegara
Pada abad ke-17, agama Islam mulai masuk ke Kerajaan Kutai melalui Tuan Gunggang Parangan dan diterima dengan cukup baik oleh Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Karena Kerajaan Kutai mulai menganut ajaran agama Islam, sebutan Raja juga diganti dengan sebutan Sultan, dan Sultan Aji Muhammad Idris merupakan sultan pertamanya yang memiliki nama Islami. Perubahan ini juga menciptakan pergantian nama kerajaan yang dulunya bernama Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura berubah menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kejadian ini membuka awal baru dalam sejarah kerajaan Kutai.
Pada abad ke-17, agama Islam mulai masuk ke Kerajaan Kutai melalui Tuan Gunggang Parangan dan diterima dengan cukup baik oleh Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Karena Kerajaan Kutai mulai menganut ajaran agama Islam, sebutan Raja juga diganti dengan sebutan Sultan, dan Sultan Aji Muhammad Idris merupakan sultan pertamanya yang memiliki nama Islami. Perubahan ini juga menciptakan pergantian nama kerajaan yang dulunya bernama Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura berubah menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kejadian ini membuka awal baru dalam sejarah kerajaan Kutai.
Kesultanan Kutai Kartanegara tetap hidup selama masa penjajahan asing di Indonesia. Pada jaman Belanda sekitar tahun 1636, Kesultanan ini diakui oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya. Pada tahun 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC. Sementara pada jaman pendudukan Jepang tahun 1942, Sultan Kutai dipaksa tunduk pada Tenno Heika yang merupakan Kaisar Jepang, dan diberi gelar kehormatan Koo, dan nama kerajaan juga diubah menjadi Kooti.
Era Penghapusan Kesultanan
Pada tahun 1947, Kesultanan Kutai dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama daerah kesultanan lainnya dengan membentuk Dewan Kesultanan, dan akhirnya bergabung dalam Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Daerah Swapraja Kutai ini kemudian diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang adalah daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 3 di tahun 1953.
Pada tahun 1947, Kesultanan Kutai dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama daerah kesultanan lainnya dengan membentuk Dewan Kesultanan, dan akhirnya bergabung dalam Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Daerah Swapraja Kutai ini kemudian diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang adalah daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 3 di tahun 1953.
Pada tanggal 21 Januari 1960 di Balairung Keraton Sultan Kutai yang terletak di daerah Tenggarong, diadakan sidang DPRD Daerah Istimewa Kutai. Acara ini merupakan serah terima kekuasaan dari Sultan Aji Muhammad Parikesit yang merupakan Kepala Daerah Istimewa Kutai kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala, Kapten Soedjono sebagai Walikota Samarinda, dan A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Balikpapan. Hal ini menandakan berakhirnya Kesultanan Kutai yang juga berarti mengakhiri sejarah Kerajaan Kutai. Meski begitu, pada tahun 1999 Bupati Kutai Kartanegara menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kertanegara sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya mengingat Kerajaan Kutai adalah salah satu kerajaan tertua di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar