Perang besar antara kaum muslim Aceh melawan kaum kaphe (kafir dalam bahasa Aceh) Belanda yang pecah pada tahun 1873 biasa disebut Perang Sabil (dalam bahasa Aceh, Prang Sabi). Perang ini adalah perang terbesar yang pernah dialami oleh Belanda sepanjang sejarah penjajahannya di timur. Dari perang ini lahirlah pejuang-pejuang dan tokoh-tokoh besar yang namanya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah. Beberapa di antara mereka adalah Cut Nyak Dien; Teuku Umar, suami kedua Cut Nyak Dien; Teungku Cik di Tiro; Panglima Polem; Cut Meutia; dan masih ribuan lagi pejuang yang tidak dikenal, yang namanya tenggelam dari permukaan sejarah.
Meletusnya Perang Sabil diawali oleh rangkaian peristiwa yang kesemuanya memerburuk hubungan antara Kesultanan Aceh dan Belanda. Hingga kemudian Belanda memberikan ancaman berupa ultimatum kepada Aceh. Ultimatum ini saya angkat menjadi sebuah kisah fiksi yang menjadi salah satu bagian di dalam novel saya berjudul SABIL. Sekarang mari kita sedikit bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang mengawali pecahnya Perang Sabil. Kisah ini saya kutip dari karya besar wartawan sekaligus sejarahwan Indonesia, Mohammad Said, yang berjudul Aceh Sepanjang Abad.
Peristiwa Yang Mengawali Perang Sabil
Hubungan Aceh dengan Belanda telah memburuk jauh sebelum tahun 1873. Kian hari hubungan itu semakin memburuk yang ditandai dengan terjadinya berbagai peristiwa penyerobotan kapal yang dilakukan baik oleh pihak Belanda maupun Aceh. Hal ini dipicu oleh nafsu penjajahan Belanda yang sejak bertahun-tahun yang lalu secara sepihak menyerobot wilayah-wilayah kekuasaan Aceh sedikit demi sedikit. Puncak dari ketegangan pra Perang Sabil ini adalah dengan diutusnya seorang pejabat Belanda untuk Sultan Aceh, yang bernama Niuwenhujzen.
Niuwenhujzen diutus untuk mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan surat tugas tertanggal 4 Maret 1873. Pokok-pokok isi dari surat tugas itu adalah: “bahwa Aceh telah meminta bantuan kepada negeri asing untuk melawan Belanda, maksud ini diselubunginya dengan jalan mengirimkan utusan kepada Residen Belanda di Riau kepada siapa telah dinyatakan keinginan meneruskan persahabatan… bahwa Aceh sudah melanggar pasal 1 Perjanjian Persahabatan dan Perdamaian tanggal 30 Maret 1857… bahwa Belanda ingin memiliki Sumatera dengan tenteram, untuk mana diperlukan mengakhiri kesamar-samaran kekuasaan Aceh.”
Karena hal-hal di atas, maka diutuslah Niuwenhujzen dengan tugas sebagai berikut: “Pergi ke Aceh untuk menuntut penjelasan kepada pemerintah kerajaan tersebut terhadap (apa yang disebut oleh surat tugas itu) “kecurangan” (“trouweloos gedrag”) dan untuk menuntut supaya Aceh mengakui kedaulatan Belanda.”
Niuwenhujzen juga dibekali dengan beberapa instruksi sebagai berikut:
Pasal 1
Komisaris Pemerintah (yaitu Niuwenhujzen) harus sudah berangkat tanggal 7 Maret 1873 dengan kapal perang “Citadel van Antwerpen” yang diiringi dengan kapal perang “Siak”, mulanya menuju Riau, selanjutnya ke Singapura supaya bersama Residen mengadakan musyawarah di sana dengan Konsul Jenderal Read mengenai maksud tugasnya. Dari sana ia melanjutkan pelayaran bersama dua kapal perang lainnya, “Coohorn” dan “Marnix” ke pulau Penang, untuk seterusnya ke Aceh.
Pasal 2
Sesampainya di pelabuhan Aceh, Komisaris memberitahukan maksud kedatangannya dengan mengindahkan formalitas diperlukan. Ini disampaikan dengan surat yang isinya menuntut penjelasan mengenai “keselingkuhan” utusan Aceh selama berada di Singapura (maksudnya hubungan utusan Aceh yang meminta bantuan kepada negara asing seperti Amerika untuk melawan Belanda). Dalam surat itu juga diberitahukan keinginan Gubernemen Belanda untuk memenuhi “panggilan takdirnya” yang harus dilaksanakannya di pulau Sumatera (mau menjajah tanah orang pake nyebut panggilan takdir, hoekk), yang membuat Gubernemen tidak bisa menyabarkan lagi keselingkuhan sedemikian, dan oleh karena itu dituntut kepada Sultan supaya dalam tempo 24 jam setelah surat diterima, untuk mengakui takluk di bawah kedaulatan Belanda.
Pasal 3
Jika tuntutan diterima oleh Sultan, Komisaris harus menyiapkan akta pengakuan rangkap tiga, sesudah mana dengan mengindahkan formalitas seperlunya, menyambut pengakuan itu.
Pasal 4
Jika Sultan menolak, hendaklah diumumkan PERANG atas nama Gubernemen.
Demikianlah kutipan surat tugas yang diterima oleh Niuwenhujzen, yang juga sedikit menggambarkan kepada kita betapa besar nafsu Belanda untuk menguasai Aceh. Bagaimana setelah ini? Insya Allah saya akan teruskan dalam artikel selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar