Total Tayangan Halaman

Selasa, 10 November 2015

PERANG SABIL




             Palestina pada zaman ini mungkin tidak jauh berbeda dengan Aceh zaman dulu. Apa yang terjadi di Palestina adalah penjajahan, penghancuran, pembantaian massal, ethnic cleansing, benturan agama dan ideologi, pergolakan kepentingan politik dan ekonomi, serta banyak lagi yang lain. Kaum zionis Yahudi Israel tanpa henti menghancurkan kaum muslim Palestina (bahkan bukan hanya muslim, mereka juga membunuh Kristen) demi hawa nafsu mereka. Hal seperti itulah yang terjadi di Aceh pada abad ke-19. Ketika itu pada tahun 1873 armada perang Belanda yang berada di bawah pimpinan Jenderal Kohler mendarat di pantai Ceureumen bersama dengan sekitar 3000 personel angkatan perang Belanda bersenjata lengkap, membawakan kabar perang. Sebuah perang yang mengawali kengerian, kesombongan dan angkara murka yang digelarkan penjajah Belanda di atas daratan Aceh, yang membuatnya seperti Palestina pada masa kita ini. Dan perang itu kemudian dikenal sebagai Perang Aceh (De Atjeh Oorlog) atau Prang Sabil (dalam lidah orang Aceh).
              Perang Sabil adalah puncak pergolakan sengit selama bertahun-tahun di forum-forum tinggi Belanda di Den Haag, maupun di Batavia. Merupakan puncak pula dari upaya penaklukan Belanda terhadap daratan Sumatra yang awalnya bergerak dari selatan terus merayap menuju utara, dan ujungnya adalah Aceh.

Tanpa menginjak daratan Aceh sama sekali, Niuwenhujzen, seorang birokrat Belanda, mengultimatum Aceh dengan perang apabila Sultan Aceh (saat itu Sultan Alaidin Mahmud Shah) tidak mau menyerahkan kekuasaan Kesultanan Aceh kepada pemerintah Belanda. Orang-orang Aceh dengan keteguhan dan keimanan yang tinggi jelas tidak sudi memenuhi tuntutan Belanda tersebut. Sampai batas waktu ultimatum itu mereka tetap tidak mau memenuhi permintaan Belanda. Hingga kemudian Belanda secara resmi dan meyakinkan menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh, dengan menembakkan meriam dari kapal perang mereka ke arah pelabuhan Ulee Lheu. Dari sanalah mimpi buruk tentara Belanda dimulai, sebab mereka sendirilah yang telah memulai perang terberat, terbesar, dan terlama, dalam sejarah penjajahan mereka di nusantara.

Pasukan Kohler terus merangsek maju perlahan-lahan ke tengah-tengah jantung ibukota Kesultanan Aceh (Banda Aceh). Mereka sampai di hadapan Masjid Raya Baiturrahman dan pecah perang di sana, masjid raya mereka bakar. Namun orang Aceh pantang menyerah, dengan semangat jihad yang dikobarkan para ulama dan para uleebalang (pemimpin wilayah yang disebut mukim di Aceh pada abad ke-19) ribuan rakyat Aceh baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, berhasil digerakkan untuk turun berperang membela negeri dan agama mereka dari serbuan kaphe (kafir dalam bahasa Aceh). Perang itu begitu dahsyat, di dalamnya terkandung semangat, tekad, pengorbanan, keimanan, dan cinta.
Pada gempuran yang pertama itu Belanda berhasil diusir dari tanah Aceh. Tunggang langgang mereka melarikan diri ke pantai dan terus ke Batavia. Kohler sendiri tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman, di bawah pohon, tertembak kepalanya.
Menelan pil pahit kekalahan, Belanda mempersiapkan perang selanjutnya dengan lebih matang (perang yang lalu dipersiapkan dengan terburu-buru). Di bawah komando Jenderal Jan van Swieten, puluhan armada kapal perang Belanda mendaratkan ribuan tentara reguler terlatih dan ribuan tentara bayaran yang direkrut dari para pengangguran, kriminal, dan orang-orang hukuman di daratan Eropa, dengan diming-imingi kebebasan dan uang. Mereka mengerahkan angkatan perang yang jumlahnya belum pernah dikerahkan sepanjang sejarah penjajahan Belanda di timur. Di pihak Aceh tak kalah bersemangatnya. Hampir separuh dari jumlah penduduk Meulaboh berangkat ke Banda Aceh untuk berperang, pasukan datang hampir dari seluruh wilayah Aceh, dan pertempuran sengit pecah. Sayangnya kali ini upaya Belanda berhasil. Masjid Raya (yang telah dibangun lagi) mereka hancurkan, Istana Sultan Aceh (Darud Dunya) mereka taklukkan. Sultan Mahmud Shah lari ke Longbata dan meninggal di perjalanan karena sakit.


Sebagai pemenang perang, Van Swieten mengumumkan bahwa Aceh telah takluk, kekuasaan sultan Aceh telah dibekukan dan diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemenangan ini membawakan euforia di Belanda, mereka merasa telah menaklukkan suatu bangsa. Kenyataan ini mengharuskan semua uleebalang di sekitar Banda Aceh khususnya dan di seluruh Aceh umumnya untuk menyerahkan diri ke Banda Aceh dan menyatakan kesetiaannya kepada pemerintah Belanda. Barang siapa menolak wilayahnya akan ditaklukkan dengan kekuatan senjata. Bendera tiga warna Belanda telah menggantikan bendera Alam Peudeueng (bendera Kesultanan Aceh yang berwarna merah dari Khilafah Ustmani, dengan gambar bulan sabit dan bintang serta pedang di bawahnya). Dan di sinilah mimpi buruk Belanda dimulai, bahwa penjajah tidak akan pernah berdiri tenang di atas tanah jajahannya, karena perlawanan akan selalu ada, setidaknya di dalam dada setiap manusia.


Perang Sabil berkobar, digerakkan oleh ulama seperti Teungku Cik di Tiro, Teungku Kutakarang, Teungku Husein Az-Zahir, Teungku Cik Pante Kulu, dll. Juga para uleebalang yang masih lurus jalan pikirannya (tidak mau tunduk kepada Belanda) seperti Panglima Polem, Teuku Nanta Seutia, Teuku Umar, Teuku Ibrahim Lamnga, Teuku Ben Daud, dll. Para pejuang wanita Aceh pun memberikan peran yang sangat besar, dan kegigihan mereka tak kalah dari kaum lelaki. Tersebutlah Cut Nyak Din, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dll. Untuk para perempuan Aceh ini seorang reporter perang Aceh berkebangsaan Belanda bernama H.C. Zentgraff melaporkan bahwa para perempuan Aceh memiliki kegigihan dan kebencian yang menyala-nyala kepada Belanda. “Bahkan di saat terakhir mereka masih bisa meludahi wajah si kafir.”


Pada perang ini pun beredar syair-syair perang yang menggugah semangat, yang disarikan dari Al-Quran dan hadis nabi. Dan yang paling populer adalah Hikayat Prang Sabil karya Teungku Cik Pante Kulu. Ada juga Hikayat Prang Gompeuni karya Dokarim. Syair-syair ini turut membakar semangat pejuang Aceh untuk teguh berperang melawan penjajah.
Saya merasakan perang besar ini begitu menginspirasi saya, dan mengajari banyak hal tentang semangat, ketahanan, dan keteguhan. Walau hancur-hancuran, walau porak poranda, tapi rakyat Aceh tidak pernah kalah, sebab mereka tidak pernah menyerah. Perlawanan tetap berkobar di mana-mana dengan cara perang gerilya sepanjang masa pemerintahan Belanda sampai datangnya tentara Jepang ke sana. Semua inspirasi itu kemudian mewujud dalam bentuk sebuah dwilogi novel berjudul SABIL. Sebuah fiksi sejarah yang mengangkat momen-momen dahsyat Perang Sabil, pengorbanan dan kesetiaan orang-orang yang terlibat di dalamnya, keikhlasan dan cinta kasih dalam tegaknya mereka menghadapi penjajahan, keteguhan dan konsistensi mereka dalam mempertahankan harta berharga mereka, dan kesetiaan mereka pada jihad fi sabilillah.

Semangat dan keteguhan itu sudah mengalir dalam darah kita. Jadi warisan berharga dari nenek moyang kita. Yang jadi masalah adalah, maukah kita melumuri tubuh kita dengan semangat dan keteguhan itu. Kitalah yang memilihnya.[]

0 komentar:

Posting Komentar