Total Tayangan Halaman

Rabu, 25 November 2015

PERISTIWA-PERISTIWA PENTING MENJELANG KERUNTUHAN KHILAFAH BANI ABBASIYAH (BAGIAN 02)

MUNCULNYA ALIRAN-ALIRAN SESAT DAN FANATISME KESUKUAN

Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagaian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zorvasterisme, dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya, bahkan al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.
Konflik antara Ahlussunnah dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran yang berlawanan dengan paham Ahlussunnah.

ANCAMAN DARI LUAR

Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebabnon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulaghu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.

SERANGAN BANGSA MONGOL DAN KERUNTUHAN BAGHDAD

Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah al-Musta’shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243-1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung “topan” tentara Hulaghu Khan.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan Khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
Berikut ini detik-detik runtuhnya Khilafah Abbasiyah dan jatuhnya Baghdad seperti yang direkam oleh Ibnu Katsir:
“Runtuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol (Tatar) tidak lepas dari pengkhianatan yang dilakukan oleh wazir (perdana menteri) Muhammad bin al-Alqami, seorang penganut paham Syi’ah yang sangat dendam terhadap Ahlussunnah. Ia menjabat wazir (Perdana Menteri ) bagi Khalifah al-Musta’shim Billah, khalifah terakhir Bani Abbas di Iraq.
Ini terjadi pada tanggal 12 Muharram 656 H. Hulaghu Khan, cucu Jengghis Khan mengepung Baghdad dengan seluruh bala tentaranya yang berjumlah lebih kurang 200.000 personil. Mereka mengepung istana Khalifah dan menghujaninya dengan anak panah dari segala penjuru, hingga menewaskan seorang budak wanita yang sedang menari di hadapan Khalifah untuk menghiburnya. Budak wanita itu adalah seorang selir yang bernama Arafah. Sebilah anak panah datang dari arah jendela menembus tubuhnya pada saat ia menari di hadapan Khalifah. Hal itu membuat cemas Khalifah dan ia amat terkejut. Pada anak panah yang menewaskan selirnya itu mereka dapati tulisan, “Jika Tuhan hendak melaksanakan ketentuan-Nya maka Dia akan melenyapkan akal waras orang yang berakal.” Setelah kejadian itu Khalifah memerintahkan agar memperketat keamanan.
Pengkhianatan Ibnul al-Alqami yang begitu dendam terhadap Ahlusunnah ini disebbakan pada tahun sebelumnya (655 H) pecah peperangan hebat antara kaum Sunni dan Syi’ah yang berakhir dengan direbutnya Kota Al-Karkh yang merupakan pusat kaum Syi’ah Rafidhah, beberapa rumah milik sanak famili Ibnu al-Alqami sempat kena jarah.
Sebelum runtuhnya Baghdad, Ibnul al-Alqami secara diam-diam mengurangi jumlah tentara, yaitu dengan memecat sebagian besar tentara dan mencoret mereka dari dinas kemiliteran. Sebelumnya, jumlah tentara pada masa kekhalifahan al-Mustanshir mencapai 100.000 personil. Jumlah ini terus dikurangi oleh Ibnu al-Alqami hingga menjadi 10.000 personil saja.
Kemudian setelah itu, barulah ia mengirim surat rahasia kepada banga Mongol dan memprovokasi mereka untuk menyerang Baghdad. Dalam surat tersebut dia beberkan kelemahan angkatan bersenjata Daulah Abbasiyah. Ini merupakan salah satu sebab begitu mudahnya pasukan Mongol menguasai Baghdad.
Semua itu dilakukan oleh Ibnu al-Alqami untuk melampiaskan dendam kesumatnya dan ambisinya untuk melenyapkan sunnah dan memunculkan bid’ah Syi’ah Rafidhah, wallahul musta’an.
Tatkala pasukan Mongol mengepung benteng Kota Baghdad pada tanggal 12 Muharram 656 H, mulailah wazir Ibnu al-Alqami menunjukkan pengkhianatannya yang kedua, yaitu dialah orang yang pertama kali menemui pasukan Mongol. Dia keluar bersama keluarga, pembantu, dan pengikutnya menemui Hulaghu Khan untuk meminta perlindungan kepadanya. Kemudain dia kembali ke Baghdad lalu membujuk Khalifah agar keluar bersamanya untuk menemui Hulaghu Khan dengan usulan serta pembagian hasil devisa setengah untuk Khalifah dan setengah untuk Hulaghu.
Maka berangkatlah Khalifah bersama para qadhi, ahli fiqh, kaum sufi, tokoh-tokoh negara, masyarakat dan petinggi-petinggi negara dengan 700 pengendara. Tatkala mereka hampir mendekati markas Hulaghu mereka ditahan oleh pasukan Mongol dan tidak diizinkan bertemu Hulaghu kecuali Khalifah bersama 17 orang saja.
Lalu Khalifah pun menemui Hulaghu Khan bersama 17 orang tersebut, sedangkan yang lain menunggu di atas tunggangan mereka. Sepeninggal Khalifah, mereka dirampok dan dibunuh oleh pasukan Mongol. Selanjutnya, Khalifah dibawa ke hadapan Hulaghu dan disandera bersama 17 orang yang ikut dengannya. Mereka diteror, diancam, dan diintimidasi serta dipaksa agar menyetujui apa yang diinginkan oleh Hulaghu.
Kemudian Khalifah kembali ke Baghdad bersama Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi yang semadzhab dengan Ibnul al-Alqami. Di bawah rasa takut dan tekanan yang hebat Khalifah pun mengeluarkan emas, perak, perhiasan, peramata, dan barang-barang berharga lainnya yang jumlahnya sangat banyak untuk diserahkan kepada Hulaghu. Akan tetapi sebelumnya, Ibnu al-Alqami bersama bersama Nashriuddin ath-Thusi sudah membsiiki Hulaghu agar tidak menerima tawaran perdamaian dari Khalifah. Mereka berhasil mempengaruhi Hulaghu bahwa perdamaian itu hanya bertahan 1 atau 2 tahun saja. Mereka pun mendorong Hulaghu agar menghabisi Khalifah.
Tatkala Khalifah kembali dengan membawa barang-barang yang banyak, Hulaghu justru menginstruksikan agar mengeksekusi Khalifah. Maka pada hari Rabu tanggal 14 Shafar terbunuhlah Khalifah al-Musta’shim Billahi. Dalang dibalik terbunuhnya Khalifah adalah Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi.
Bersamaan dengan gugurnya Khalifah, maka pasukan Mongol pun menyerbu masuk ke Baghdad tanpa perlawanan yang berarti. Dengan demikian, jatuhlah Baghdad di tangan pasukan Mongol. Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas kala itu adalah 2 juta jiwa. Tak ada yang selamat keucali Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang meminta perlindungan kepada pasukan Mongol atau berlindung di rumah Ibnu al-Alqami serta para konglomerat yang membagi-bagikan harta mereka kepada pasukan Mongol dengan jaminan keamanan pribadi..!

BELAJAR DARI SEJARAH

Demikianlah, mengangkat orang kafir dan ahli bid’ah sebagai pemangku jabatan merupakan salah satu faktor penyebab kehancuran Daulah Bani Abbasiyah. Di samping itu, jauhnya umat dari Islam dan sikap mereka yang memusuhi sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan salah satu sebab yang mempercepat kehancuran suatu negeri. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya:
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
Akan ditimpakan kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyalahi perintahku.”
Apa yang terjadi dahulu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.
Umat manusia sekarang ini, berada dalam jurang yang sangat terjal dan dalam. Belenggu-belenggu kebinasaan siap menghancurleburkan mereka. Realita ini merupakan akibat buruk yang dipetik oleh umat manusia karena telah menjauh dari al-haq. Mereka menjadi bulan-bulanan panah kebatilan. Kenyataan yang ada cukup menjadi bukti dan petunjuk yang jelas. Tanda-tanda kehancuran itu terpampang jelas di hadapan setiap orang yang masih punya pikiran waras dan punya pengetahuan.
Umat manusia berpaling dari Kitabullah, lalu menggantinya dengan undang-undang buatan manusia dan menjadikannya sebagai pedoman dalam berbagai bidang kehidupan.
Para penguasa menyedot kekayaan negara untuk dirinya sendiri dan menetapkan hukum secara sewenang-wenang terhadap masyarakat menurut selera mereka. Siapa saja yang menyanjung perbuatan mereka yang melanggar syariat pasti akan dinaikkan pangkatnya. Dan siapa saja yang menyelisihi atau mengingkari kemungkaran dan perbuatan buruk itu pasti akan dihancurkan haknya dan akan direndahkan kedudukannya. Itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:
Sepeninggalku nanti kalian akan melihat atsarah (monopoli urusan dunia pen.) dan perkara-perkara agama yang kalian ingkar.” Para sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah hak-hak penguasa dan mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hak-hak kalian.
Seiring rusaknya kehidupan politik yang semakin terpuruk, pada akhirnya juga merusak kehidupan sosial hingga jatuh ke derajat yang paling hina dan rendah. Sebagaimana dimaklumi bahwa aspek-aspek kehidupan manusia saling terkait satu sama lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa akan muncul nanti beberapa kaum yang tidak lagi menepati perjanjian dan melesat keluar dari agama. Mereka melakukan apa yang tidak diperintahkan, memberikan persaksian sedangkan mereka tidak diminta untuk bersaksi.
Karakter yang paling tepat bagi zaman kita sekarang ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturukan harta nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam: 59)
Ini merupakan kondisi umum manusia sekarang. Manusia telah menjadi hamba nafsu syahwatnya bagaikan seekor anjing yang selalu menjulurkan lidahnya. Mereka tega menjual kehormatan dan amanat dengan harga yang murah di pasar murahan dan hina. Mereka rela mempersembahkan diri sebagai tumbal syahwat. Mereka ini tidak mengingkari kemungkaran dan tidak mengenal perkara kebajikan (kecuali segelintir orang yang dirahmati Allah dan itu pun jumlahnya sangat sedikit). Bahkan sebaliknya, mereka menyuruh kepada perkara mungkar dan melarang dari perkara yang ma’ruf dengan meneriakkan slogan-slogan yang gemerlap lagi menipu, dengan kata-kata yang penuh hiasan dan kiasan, lewat mulut-mulut penuh dusta dan lisan-lisan para kaum munafik.
Sebagai akibat langsung keterpurukan politik dan keganjilan sosial masyarakat, maka yang menjadi penentu segala sikap dan kebijakan adalah dinar dan dirham (uang). Uang begitu mendominasi kehidupan manusia sehingga menjadi sangat diagungkan dan didewakan. Manusia pun menyungkur sujud menyembah uang di samping menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sampai-sampai yang menjadi semboyan manusia sekarang ini adalah, “Siapa yang tidak punya uang tidak akan dipandang. Harga seorang manusia dilihat dari harta yang dimilikinya!”
Sehingga demi meraih kebahagiaan hidup yang diiming-imingi oleh Iblis dan bala tentaranya, maka mereka pun menghlalkan segala cara.
Para penguasa yang berkuasa di negeri-negeri Islam menjauhkan generasi Muslim dari nilai-nilai Islam yang merupakan keistimewaan dan menjadi kebanggaan setiap Muslim serta menjadi penggerak bagi jiwa menuju kemuliaan. Lalu mereka menggantinya dengan budaya rendahan, sia-sia, dan penuh dusta. Maka lahirlah generasi yang minim pengetahuan, tidak memiliki pengetahuan agama, dan tidak pernah merasakan cita rasa ilmu. Lantas mereka mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Apabila mereka dimintai fatwa oleh masyarakat, mereka berfatwa tanpa ilmu, akibatnya mereka sesat lagi menyesatkan.
Realita di atas menimbulkan dampak munculnya kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang saling bermusuhan dan bertentangan. Sehingga umat Islam menjadi terpecah belah berkeping-keping tak karuan.
Fenomena kelompok tersebut memicu pertentangan dan menyebabkan tercerai berainya barisan. Dan juga menebar benih perpecahan dan permusuhan di tubuh umat yang satu. Sehingga dengan mudah musuh dapat memporak-porandakan negeri-negeri kaum Muslimin, menjajah dan menjarah harta kekayaan mereka, wallahul musta’an.
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)
Kita harus belajar dari sejarah, mengambil ibrah dari apa yang telah dialami oleh para pendahulu kita. Merupakan karakter umat ini adalah tidak jatuh dalam satu lobang dua kali, apalagi berkali-kali. Keruntuhan khilafah Abbasiyah bukanlah terjadi begitu saja, tetapi ada sebab-sebab yang memicunya. Bila kita tidak belajar dari sejarah umat terdahulu maka bukan tidak mungkin kita akan mengalami apa yang sudah mereka alami.
Sumber: Majalah As-Sunnah Edisit 7 Tahun XV 1432 H/2011 M

PERISTIWA-PERISTIWA PENTING MENJELANG KERUNTUHAN KHILAFAH BANI ABBASIYAH (BAGIAN 01)

Bani Abbasiyah atau kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan Islam kedua yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah adalah keturunan paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul Muththalib. Oleh karena itu, mereka juga termasuk Bani Hasyim. Kekhilafahan ini berkuasa mulai tahun 750 M dan memindahkan ibukota dari Dmaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan sebutan Mamluk. Selama 150 tahun berkuasa, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah, Marocco dan Afrika keada Aghlabid dan Fathimiyyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 M disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikit pun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasan kekhalifahan selama tiga abad, mengonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 M kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya bangsa Turki (kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah. Pendiri khilafah Abbasiyah adalah Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, ahli sejarah membagi masa pemerintahan Daulah Abbasiyah menjadi lima periode:
–  Periode Pertama (132 H/750 M -232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
–  Periode Kedua (232 H/847 M -334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
–  Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemeritnahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
–  Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk Agung).
–  Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyyah mencapai masa keemasan. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syi’ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingannya disingkarkan satu-persatu. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedeia membaiatnya. Al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir (Perdana Menteri) sebagai koordinator dari kementrian yagn ada. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti. Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Byzantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abul Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M(, al-Hadi (775 -786 M), Harun ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-peandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah kekhalifahan Abbasiyah menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Diambang Keruntuhan
Faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbasiyyah menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintaham, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan  Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemeritnahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah dari tangan Bani Abbas. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/1055 M), Daulah Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi’ah.
Faktor-faktor yang penting yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbasiyah pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
  1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
  2. Profesionalisasi angkatan bersenjata membuat ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
  3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
  4. Posisi-posisi penting negara dipercayakan kepada ahli bid’ah, khususnya jabatan wazir (perdana menteri) dan penasihat yang diserahkan kepada Syi’ah.
  5. Penyakit wahan (cinta dunia dan takut mati) yang menguasa para penguasa dan jajarannya.
Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas, merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri, dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Bersambung…..

SEJARAH PERANG MU’TAH

PERANG MU’TAH

Peperangan ini tercatat di dalam sejarah sebagai sebuah peperangan besar, di mana tentara Islam yang berjumlah 3.000 orang melawan 200.000 tentara Romawi Nasrani. Sekalipun demikian dahsyatnyapeperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya 12 orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendakwahi dan memerangi manusia hingga mereka mengikrarkan kalimat tauhid. Maka kemuliaan bagi yang mengikuti agamanya dan kehinaan bagi yang menyelisihinya.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwah dari kerabatnya yang terdekat dari kabilah Quraisy lalu bangsa Arab secara umum dan siapa saja yang dekat atau datang kepadanya dari berbagai penjuru, maka demikian pula beliau memerangi musuh pertama yang terdekat yaitu kafir Quraisy para penyembah berhala kemudian bagnsa Arab di sekitar Mekah dan Madinah dan lainnya lalu ahli kitab dari bangsa Yahudi di Madinah dan sekitarnya.
Dan sekarang tiba saatnya untuk memerangi bangsa Romawi yang beragama Nasrani dan nanti akan tiba gilirannya memerangi kaum Majusi para penyembah api dan seluruh umat kafir hingga agama Allah tinggi dan jaya di permukaan bumi, di atas semua agama sekalipun orang-orang kafir benci dengan kemenangan Islam. Inilah Islam dan inilah jihad yang merahmati umat manusia dan tidak membiarkan mereka berlarut-larut dalam laknat Allah dengan tetap dalam kekafiran, tetapi Islam mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik dan kufur kepada cahaya Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Allah takjub dengan orang-orang yang masuk surga dalam keadaan diikat rantai besi.” (HR. Bukhari). Maksudnya bahwa mereka tertawan oleh tentara Islam lalu diikat dengan rantai besi kemudian digiring ke negeri Islam dan akhirnya mereka masuk Islam sehingga berbahagia dengan surga.
Dan termasuk hikmah ilahiyyah tatkala orang-orang kafir dari berbagai bangsa tidak bersatu padu dalam satu waktu untuk menyerang kaum muslimin. Tatkala kafir Quraisy memerangi kaum muslimin, maka bangsa Arab lainnya diam menunggu hasil dari Quraisy. Ketika seluruh bangsa Arab dan Yahudi bersekutu memerangi kaum muslimin, maka umat Nasrani diam menunggu hasil peperangan tersebut. Demikian pula tatkala umat Islam berperang melawan Romawi, maka bangsa Persia Majusi diam menunggu hasil peperangan ini hingga semua bangsa dan semua agama ditundukkan oleh kaum muslimin. Firman Allah:
خَيْرًا وَكَفَى اللهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ
Dan Allah memelihara kaum muslimin dari peperangan.” (QS. Al Ahzab: 25)

SEBAB TERJADINYA PERANG MU’TAH

Sebab terjadinya perang ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat melalui utusannya, Harits bin Umair radhiallahu ‘anhu kepada Raja Bushra. Tatkala utusan ini sampai di Mu’tah (Timur Yordania), ia dihadang dan dibunuh, padahal menurut adat yang berlaku pada saat itu –dan berlaku hingga sekarang- bahwa utusan tidak boleh dibunuh dan kapan saja membunuh utusan, maka berarti menyatakan pengumuman perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah akibat tindakan jahat ini, beliau mengirim pasukan perang pada Jumadil Awal tahun ke-8 Hijriah yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika Zaid mati syahid, maka Ja’far yang menggantikannya. Jjika Ja’far mati syahid, maka Abdullah bin Rawahah penggantinya.”
Ini pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tiga panglima sekaligus karena beliau mengetahui kekuatan militer Romawi yang tak tertandingi pada waktu itu.

TENTARA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA BERANGKAT

Pasukan ini berangkat hingga tiba di Ma’an wilayah Syam dan sampai kepada mereka berita bahwa Raja Romawi bernama Heraklius telah tiba di Balqa bersama 100.000 tentara dan bergabung bersama mereka kabilah-kabilah Arab yang beragama Nasrani yang berjumlah 100.000 tentara sehingga total tentara musuh berjumlah 200.000 tentara. Setelah para sahabat bermusyawarah, sebagian mereka mengatakan, “Kita mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau menambahkan kekuatan tentara atau memerintahkan kepada kita sesuatu.”
Lalu panglima mereka yang ketiga, Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu, menyemangati mereka seraya mengatakan, “Wahai kaum! Demi Allah, sesungguhnya apa yang kalian takutkan sungguh inilah yang kalian cari (yakni) mati syahid. Kita tidak memerangi manusia karena banyaknya bilangan dan kekuatan persenjataan, tetapi kita memerangi mereka karena agama Islam ini yang Allah muliakan kita dengannya. Bangkitlah kalian memerangi musuh karena sesungguhnya tidak lain bagi kita melainkan salah satu dari dua kebaikan, yaitu menang atau mati syahid.”
Maka sebagian mereka berkata, “Demi Allah, Ibnu Rawahah benar.” Lalu mereka berangkat sampai mereka tiba di Balqa tempat musuh berada.
Ini munjukka betapa besar keberanian para sahabat dalam jihad memerangi musuh-musuh Allah, semoga Allah melaknat Syi’ah yang mencela para sahabat.

PERTEMPURAN

Tentara Islam dan tentara kufur saling berhadapan. Perlu kita ketahui, tentara di medan perang dibagi menjadi lima pasukan, yaitu: pasukan depan, belakang, kanan, kiri, dan tengah sebagai pasukan inti. Tentara musuh dengan jumlah yang sangat banyak mengharuskan seorang tentara dari sahabat melawan puluhan tentara musuh. Akan tetapi, tentara Allah yang memiliki kekuatan iman dan semangat jihad untuk meraih kemulian mati syahid tidak merasakannya sebagai beban berat bagi mereka sebab kekuatan mereka satu banding sepuluh –sebagaimana digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aladalam ayat,
Jika ada di antara kalian 20 orang yang bersabar maka akan mengalahkan 200 orang.” (QS. Al Anfal: 65)
Tentara Allah sebagai wali dan kekasih-Nya yang berperang untuk meninggikan agama-Nya, maka pasti Allah bersama mereka. Adapun orang-orang kafir sebanyak apapun bilangan dan kekuatan mereka, maka ibarat buih yang tidak berarti apa-apa.
Peperangan berkecamuk dengan dahsyat. Pusat perhatian musuh tertuju kepada pembawa bendera kaum muslimin dan keberanian para panglima Islam dalam maju memerangi musuh, hingga mati syahidlah panglima pertama, Zaid bin Haritsa radhiallahu ‘anhu. Lalu bendara perang diambil oleh panglima kedua, Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau berperang habis-habisan hingga tangan kannya terputus, lalu bendera dibawa dengan tangannya kirinya hingga terputus pula dan merangkul bendera dengan dadanya hingga terbunuh. Sebagai balasannya, Allah menggantikan kedua tangannya dengan dua sayap agar di surga ia dapat terbang ke mana saja. Setelah beliau syahid ditemukan pada tubuhnya terdapat 90 luka lebih antara tebasan pedang, tusukan panah atau tombak yang menunjukkan keberaniannya dalam menyerang musuh.
Kemudian bendera perang dibawa oleh panglima ketiga. Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu dan berperang hingga mati syahid menyusul kedua rekannya. Agar bendera perang tidak jatuh maka mereka mengangkatnya dan bersepakat untuk menyerahkannya kepada Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu, maka beliau membawa bendera perang.
Setelah peperangan yang luar biasa, keesokan harinya Khalid radhiallahu ‘anhu –dengan kecerdasan siasat baru dengan mengubah posisi pasukannya dari semula; yaitu pasukan depan ke belakang dan sebaliknya, pasukan kanan ke kiri dan sebaliknya, sehingga tampak bagi musuh bahwa kaum muslimin mendapat bantuan tentara yang baru dan menimbulkan rasa takut dalam hati mereka dan menjadi sebab kekalahan mereka.
Setelah berperang lama, Khalid radhiallahu ‘anhu menilai bahwa kekuatan musuh jauh tidak sebanding dengan kekuatan kaum muslimin. Maka beliau menarik mundur pasukannya dengan selamat hingga ke Madinah, sedang musuh tidak mengejar mereka karena khawatir kalau-kalau ini dilakukan oleh kaum muslimin sebagai siasat perang untuk mengajak Romawi menuju medan perang yang lebih terbuka di padang pasir –yang akan merugikan Romawi.
Dalam perang ini, Khalid radhiallahu ‘anhu berperang habis-habisan hingga sembilan pedang patah di tangannya. Ini menunjukkan betapa besarnya peperangan tersebut dan betapa besar perjuangan para sahabat demi Islam. Maka semoga Allah melaknat orang-orang Syi’ah yang tidak mengakui keutamaan para sahabat. Seandainya Syi’ah mencela seorang saja dari sahabat biasa, sungguh cukuplah sebagai kejelekan mereka, lalu bagaimana jika yang mereka cela adalah kebanyakan sahabat bahkan yang paling utama di antara mereka. Sungguh tidak ada kebaikan yang dilakukan oleh siapa pun kecuali para sahabat merupakan pendahulunya dan mendapat pahalanya.
Sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya dua belas orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Adapun pasukan musuh tidak dapat dipastikan bilangan mereka yang terbunuh, tetapi diperkirakan sangat banyak. Hal ini dapat diketahui dari hebatnya peperangan yang terjadi.

RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM BERKISAH TENTANG PERANG

Tampak mukjizat kenabian, tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada para sahabat di Madinah tentang kematian tiga panglimanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dalam keadaan sedih meneteskan air mata seraya berkata, “Bendera perang dibawa oleh Zaid lalu berperang hingga mati syahid, lalu bendera diambil oleh Ja’far dan berperang hingga mati syahid, lalu bendera perang dibawa oleh Siafullah (Pedang Allah –yakni Khalid bin Walid, pen.) hingga Allah memenangkan kaum muslimin.” Setelah itu, beliau mendatangi keluarga Ja’far dan menghibur mereka serta membuatkan makanan untuk mereka.

PELAJARAN DARI KISAH:

  1. Boleh mengangkat beberapa pemimpin dalam satu waktu dengan syarat tertentu dan memimpin secara berurutan.
  2. Kaum muslimin mengangkat Khalid sebagai panglima perang merupakan dalil bolehnya ijtihad di masa hidupnya Rasulullah.
  3. Keutamaan tiga panglima (Zaid, Ja’far, Abdullah bin Rawahah) dan keutamaan Khalid bin Walid sebab dalam peperangan ini Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya dengan Saifullah(Pedang Allah).
  4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih atas kematian tiga panglimanya, menunjukkan rahmatnya kepada umatnya dan bahwasanya beliau berusaha menentramkan jiwanya untuk bersabar terhadap musibah. Dan ini lebih baik daripada yang tidak sedih dan tidak tersentuh oleh musibah sama sekali.
  5. Hakikat hidup dan ‘izzah (kemuliaan) yang disingkap oleh Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhubahwa sesungguhnya kemenangan bukanlah karena kekuatan dan jumlah secara materi, melainkan agama dan ketaatan kepada Allah. Lihat Sirah Nabawiyyah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad: 521-526 dan Sirah Nabawiyyah karya Dr. Akram: 2:267-270
Oleh: Ustadz Abu Hafshoh
Sumber: Majalah Al-Fuqon Edisi 6 Tahun Ke-11 1433 H/2012 M

MAHMUD BIN SABAKTAKIN MENGHANCURKAN BERHALA KERAMAT

Oleh: Ustadz Abu Faiz
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khtaththab radhiallahu ‘anhu, Islam masuk Palestina, Syiria, dan sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Namun ketika itu tauhid yang murni belum tersebar merata. Di sebagian wilayah keislaman penduduknya masih terkotori dengan kesyirikan. Sebagai contoh, masih ada kaum muslimin yang mengagungkan kuburan pahlawan pejuang Islam.
Jika sebelum memeluk agama Islam mereka mengagungkan patung, berhala, pohon besar, dan batu, setelah memeluk Islam mereka mengagungkan orang yang dikultuskan. Jika orang tersebut meninggal, maka mereka bertabaruk (ngalap berkah) kepada peninggalannya, tempat wudhunya, tempat shalatnya, atau kuburannya.
Sampai sekarang kita masih mendapati kesalahan kaum muslimin terhadap kuburan. Memang dari sebuah kuburan dapat muncul berbagai kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan sampai tingkat kesyirikan kepada-Nya. Meninggikan dan memperindah kuburan, membaca Alquran di kuburan, shalat di kuburan dan berdoa di sisinya, serta ritual-ritual lainnya. Kembali kita bertanya, apa bedanya meminta kepada penghuni kubur dengan beribadah kepada patung. Nas’alulloh al-afiyah.
Ada sebuah kisah shahih yang perlu kita ketahui. Kisah ini berhubungan dengan upaya penguasa menghilangkan kesyirikan. Kisah berikut adalah bukti nyata lemahnya tipu daya setan dan kemenangan bagi ahli tauhid. Semoga dapat menjadi ibrah bagi orang-orang yang merenunginya. Allahul-musta’an.

KISAH TERSEBUT ADALAH SEBAGAI BERIKUT:

Ketika itu Mahmud bin Sabaktakin memasuki India. Beliau adalah seorang pemimpin. Di negeri ini terdapat patung yang dikenal dengan sebutan Suminat. Patung ini selalu dikunjungi manusia dari berbagai penjuru layaknya Ka’bah. Bahkan mereka datang dengan jumlah yang lebih besar. Mereka memberikan nafaqoh dan harta yang sangat banyak.
Penduduk dari seribu desa dan kota-kota besar wajib memberikan wakaf kepada berhala tersebut hingga perbendaharaan berhala penuh dengan harta yang melimpah.
Berhala tersebut dijaga oleh seribu pelayan, tiga ratus tukang cukur, dan tiga ratus orang yang selalu berdendang di sisi pintu tatkala gendang ditabuh dan terompet ditiup. Beribu-ribu pengunjung dan warga seetmpat dapat makan dari harta yang diwakafkan kepada berhala. Penduduk dari negeri jauh pun berkunjung ke tempat itu sekalipun harus melewati padang pasir yang luas.
Tatkala berita tersebut didengar oleh Raja Mahmud, beliau beristikhoroh. Akhirnya disiapkanlah segelar pasukan guna menghancurkan berhala besar tersebut. Beliau akan menumpas habis kesyirikan.
Banyak yang menyebutkan bahwa para pemuja patung akan menyuap Raja Mahmud dengan harta yang sangat banyak agar beliau membatalkan rencana. Sebagian amir kerajaannya pun memberi isyarat agar beliau menerima hadiah tersebut dan membatalkan rencananya.
Beliau pun beristikhoroh memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika Subuh, ia kembali berpikir: “Kelak pada hari kiamat aku lebih senang untuk dipanggil;, ‘Di mana Mahmud, orang yang telah menghancurkan patung’, dari pada dikatakan kepadaku: “Di mana Mahmud yang telah mengurungkan niat menghancurkan patung hanya karena ingin mendapat sebagian dari harta dunia’.” Akhirnya beliau pun tetap bertekad kuat untuk menghancurkan berhala tersebut.
Maka beliau mengumpulkan pasukannya hingga terkumpul tiga puluh prajurit pilihan. Jumlah tersebut tidak termasuk sukarelawan. Akhirnya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala pasukan besar tersebut berangkat. Setibanya di sana mereka turun di pelataran yang luasnya seperti sebuah kota besar pasukan itu pun menyerang, dalam waktu yang relatif singkat lima puluh ribu musuh dikalahkan dan patung besar itu digulingkan dan dibakar.
Beliau mendapati di atas dan di sekeliling patung besar tersebut mutiara, berlian, emas, perak dan permata yang sangat mahal dan jumlahnya berlipat-lipat dari harta yang sebelumnya ditawarkan. Kita mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pahala di akhirat yang berlipat-lipat untuknya atas segala yang telah didapatkkan dari pujian dan sanjungan manusia ketika di dunia. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merohmati beliau dan memuliakan tempatnya di akhirat kelak.
TAKHRIJ
Kisah di atas disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah 12:28
Pelajaran
Mahmud bin Sabaktakin al-Ghoznawi beliau adalah Abul Qosim Mahmud bin Nasir ad-Daulah Sabaktakin at-Turki salah satu pemimpin besar Islam yang berkuasa pada tahun 389 H. Ayahnya seorang pemimpin di Ghoznah. Seetlah sang ayah meninggal, kepemimpinan digantikan oleh anaknya (Ismail) dan selanjutnya digantikan oleh Mahmud.
Beliau diutus oleh Khalifah Abbasiyah al-Qodir Billah untuk melakukan invasi ke beberapa daerah sampai ke daerah Khurasan dan kekuasaannya melebar hingga ke ujung negara india dan Naisabur. Beliau adalah keturunan Turki asli, fasih, bersemangat tinggi, pintar, dan berani. Beliau berhasil menghancurkan negeri-negeri kafir di India yang tidak pernah dicapai oleh orang-orang sebelum dan sesudahnya.
Beliau membenci kemaksiatan dan para pelakunya. Beliau mencintai ulama dan orang shalih. Beliau dijuluki dengan Saifud-Daulah. Tatkala menjadi pemimpin menggantikan ayahnya, maka al-Qodir Billah menjuluki beliau dengan Yaminu ad-Daulah wa Aminul-Millah. Beliau wafat di Ghoznah pada tahun 421-422 H pada umur 63 tahun dan memerintah selama 33 tahun. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’alamerohmatinya dan memuliakan tempatnya di akhirat kelak. (lihat Majmu Fatawa wa Rosail lil Ustaimin,4:96 dan Fatawa Syabkah Islamiyyah, 45131)
Syaikhul Islam berkata, “Tatkala kerajaan Mahmud bin Sabaktakin menjadi kerajaan terbaik dari keturunannya, maka Islam dan sunah di kerajaannya menajdi mulia. Beliau memerangi orang-orang musyrik di India dan menebarkan keadilan yang tidak ditebarkan oleh raja-raja yang lain. Pada masa beliau, sunah nampak di permukaan dan kebid’ahan diberantas.” (Majmu Fatawa, 4:22)
Beliau adalah seorang yang beraqidah Ahlus Sunah wal Jamaah dan membantah pemahaman filsafat yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidak di atas tidak di bawah, tidak di kanan tidak di kiri, tidak di depan tidak di belakang, tidak di dalam alam atau tidak di luar alam. Maka beliau membantah keyakinan kufur tersebut dengan perkataan beliau yang sangat bagus:
“Kalau begitu bedakanlah antara Robb yang engkau tetapkan itu dengan sesuatu yang tidak ada.” (Risalah Tadmuriyah, Hal.41. Lihat pula Muhatshor al-Uluw, 1:52)
Melalui tangan beliau, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghancurkan berhala besar yang menjadi sumber berbagai bentuk kemaksiatan. Ini berarti beliau telah melaksanakan yang telah diwasiatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Ali radhiallahu ‘anhu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (2239) dalam kitab Shahihnya:
Dari Abu Hayyaz al-Asadi berkata bahwa Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu berkata kepadaku, “Maukah engkau saya utus seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku? Jangan tinggalkan patung kecuali engkau menghancurkannya dan kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan agar kuburnya jangan dijadikan sebagai tempat ibadah seperti masjid dan tempat-tempat menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:
Ya Allah janganlah Engkau jadikan kuburku berhala yang disembah, semoga Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kubur Nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Ahmad 7352)

MUTIARA KISAH

Kejadian masa lalu adalah pelajaran bagi manusia setelahnya. Beberapa faedah penting yang perlu dicatat adalah sebagai berikut:
  1. Disyariatkan bagi seseorang tatkala bimbang dalam menentukan pilihan, hendaknya shalat istikhoroh. Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dan hal itu merupakan kebiasaan orang-orang shalih setelahnya.
  2. Siapa saja yang meninggalkan suatu keharaman karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka AllahSubhanahu wa Ta’ala akan memberinya pahala dan memberi ganti dengan yang lebih baik. Lihatlah apa yang terjadi pada diri Raja Mahmud, tatkala dia menolak suap berupa harta yang berlimpah, pada akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala justru memberinya harta yang jumlahnya jauh lebih banyak dari harta suap yang akan diberikan kepadanya.
  3. Sebuah negeri apabila dipimpin oleh seorang yang shalih, maka akan mendatangkan kebaikan bagi seluruh rakyatnya, dan sebaliknya apabila pemimpinnya adalah seorang yang zhalim, maka kekacauan dan kekejaman akan senantiasa menghantui rakyatnya. Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajabah, maka akan aku peruntukkan kepada pemimpin, karena apabila ia baik maka kebaikannya akan merata bagi negara dan rakyat.” (Syarh I’tiqod Ahlis Sunah, 1:172)
  4. Pemimpin (pemerintah dan aparat terkait) wajib berupaya mewujudkan negeri yang aman dan memberantas tempat-tempat maksiat. Apabila waliyul amri dan para ulama bersatu untuk menghancurkan kebatilan, maka akan tercipta sebuah negeri yang damai dan bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh Mahmud bin Sabaktakin telah melakukan kewajibannya dan semoga ini menjadi teladan bagi para penguasa Islam setelahnya.
Ketika memetik faedah dari Perang Tho’if, al-Hafidz Ibnu Qoyyim al-Jauziyah berkata, “Di antara faedahnya adalah tidak boleh menyisakan tempat-tempat kesyirikan dan thoghut selagi ada kemampuan untuk menghancurkannya walaupun hanya sehari saja. Sebab hal itu adalah syiar kesyirikan dan kemungkaran yang paling besar, maka tidak boleh dibiarkan selagi mampu untuk menghancurkannya.” (Zadul Ma’ad, 3:443)
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 11 Tahun Ke-9 1431 H/2010 M

PASCA PERANG UHUD

PERANG HAMRO’UL ASAD

Peperangan ini termasuk bagian dari Perang Uhud. Oleh karenanya sebagian ulama menggabungkan pembahasan perang ini dalam rangkaian Perang Uhud.
Seusai Perang Uhud, pasukan kafir Quraisy tidak langsung pulang ke Mekah, mereka berhenti di Hamro’ul Asad dan bermaksud kembali menyerang kaum muslimin di Madinah. Mereka merasa belum memperoleh kemenangan yang sempurna karena tiga tokoh utama pemimpin kaum muslimin –Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr radhiallahu ‘anhu, Umar radhiallahu ‘anhu– masih hidup.
Tatkala Rasulullah mengetahui bahwa musuh berhenti di tengah jalan untuk kembali menyerang, maka beliau memerintahkan para sahabat untuk segera menyusul dan mengejar mereka. Beliau mensyaratkan bahwa yang boleh berangkat adalah para sahabat yang ikut berperang di Uhud adapun orang-orang munafik tidak diperkenankan ikut. Maka bangkitlah para sahabat dalam keadaan kepayahan, rasa sakit dan luka-luka demi menyambut panggilan Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman menggambarkan keadaan mereka:
Orang-orang yang memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka ditimpa musibah luka-luka, bagi yang berbuat baik di antara mereka dan bertakwa mendapat pahala yang besar.” (QS. Ali-Imron: 172)
Di Hamroul Asad orang-orang kafir Quraisy menakut-nakuti kaum muslimin dengan mengirim seseorang untuk menyampaikan kepada para sahabat bawha Quraisy telah bersatu padu mengumpulkan bala tentara untuk menyerang kalian maka waspadalah dan hendaknya kalian takut terhadap kekuatan mereka. Akan tetapi para sahabat tidak gentar sedikit pun bahkan semakin bertambah keimanan mereka dan semakin yakin akan datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah. Firman Allah:
Orang-orang yang dikatakan kepada mereka sesungguhnya manusia telah berkumpul untuk menyerang kalian maka takutlah kepada mereka akan tetapi mereka menjawab cukuplah Allah penolong kami dan Dia sebaik-baik penolong.” (QS. Ali Imron: 173)
Tatkala orang-orang kafir Quraisy mendengar bahwa Rasulullah dan para sahabat menyusul dan mengejar untuk menyerang mereka, maka mereka takut dan segera mereka berangkat pulang menuju Mekah. Itulah rasa takut yang meliputi tentara Iblis yang tidak memiliki kekuatan mental sedikit pun padahal sebelumnya mereka menakut-nakuti kaum muslimin dengan bala tentaranya yang besar.
Kaum muslimin tinggal di Hamro’ul Asad selama tiga hari. Mereka tidak menemukan musuh. Mereka pulang ke Madinah dengan membawa kemenangan dan rampasan perang. Setelah itu kedudukan kaum muslimin di Jazirah Arab makin disegani. Itulah firman Allah:
Lalu mereka kembali dengan membawa kemenangan dan nikmat dari Allah berupa rampasan perang sedang mereka tidak ditimpa kejelekan sedikitpun berupa luka dan mereka mengikuti ridho Allah dan Allah memiliki keutamaan yang sangat besar.” (QS. Ali Imran: 174)
Sesungguhnya keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukan kaum muslimin ke Hamro’ul Asad merupakan bukti yang sangat besar yang menunjukkan kesempurnaan beliau, keberanian, ketabahan, dan kesabaran serta tidak menyerah atau menunjukkan rasa lemah dan kalah kepada musuh sedikit pun. Kejadian itu juga merupakan bukti bagusnya siasat beliau dan juga keutamaan para sahabatradhiallahu ‘anhu, mereka taat dan sabar dalam memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya tanpa sedikit pun merasa keberatan padahal mereka masih dirundung musibah kekalahan, sakit, luka-luka, rasa takut, hilangnya kewibawaan mereka di mata musuh dan penderitaan. Maka mereka berhak menjadi wali-wali pilihan kekasih Allah.

PEPERANGAN SETELAH UHUD

Dua peperangan dahsyat yakni Perang Badar dan Perang Uhud telah berlalu, namun perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum belum berakhir. Bahkan ini merupakan awal dari perjuangan beliau karena tugas mulia, jihad fi sabilillah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sekitar 8 tahun setelah dua perang tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendakwahi dan memerangi manusia sampai mereka masuk Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan rezeki beliau di bawah naungan pedangnya berupa harta rampasan perang yang disebut ghanimah atau fai. Orang-orang kafir pun bertambah marah, tersiksa, dan dengki. Sebab harta yang mereka kumpulkan jatuh ke tangan kaum muslimin. Bahkan jiwa, anak, dan istri mereka menjadi budak yang diperjualbelikan oleh kaum muslimin sehingga menjadi sia-sia usaha mereka dunia dan akhirat.
Orang-orang kafir ingin hidup aman dan bahagia di atas kekafiran, tanpa tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki hidup seperti itu. Akibatnya mereka hidup di atas kegoncangan, ketakutan, dan tidak aman dari pedang-pedang kaum muslimin. Sebab, satu-satunya kebahagiaan, keamanan, dan keselamatan di dunia dan akhirat adalah tauhid dan berpegang teguh dengan Islam. Hal ini juga karena bumi diwariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum mukminin dan tidak diwariskan kepada orang-orang kafir.
Jika ada pertanyaan, apakah benar orang-orang kafir memiliki hak hidup atau hak asasi? Jawabannya adalah benar. Mereka memiliki hak hidup atau hak asasi yaitu berupa makan, tidur, bekerja, menikah, bersenang-senang, dan lain-lain. Namun hak hidup (baca: hak asasi manusia) mereka yang demikian itu seperti hak hidupnya hewan. Adapun hak kebahagiaan, keselamatan, dan keamanan, mereka tidak berhak memperolehnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang, dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad: 12)
Seandainya hidup mereka sekadar menyerupai hewan maka sungguh ia merupakan kehinaan yang tiada tara. Lantas bagaimana dengan balasan di akhirat yaitu adzab api neraka sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat di atas:
…dan neraka tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad: 12)

DELEGASI ABU SALAMAH

Kekalahan kaum muslimin pada Perang Uhud berdampak negatif terhadap kaum muslimin karena musuh bertambah semangat memerangi Madinah.
Pada akhir tahun ke-3 hijriah, sampailah berita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Bani Asad yang dipimpin oleh Thulaihah bersekongkol dengan Bani Hudzail yang dipimpin oleh Khalid bin Sufyan untuk menyerang Madinah.
Sebagai tanggapannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim 150 pasukan perang dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang dipimpin oleh Abu Salamah radhiallahu ‘anhu dan menyerang musuh secara tiba-tiba di mata air milik musuh hingga mereka lari kocar-kacir. Para sahabat pun pulang ke Madinah dengan membawa harta rampasan perang. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhu untuk membunuh Khalid bin Sufyan. Maka Zaidradhiallahu ‘anhu pun berangkat dan membunuhnya sebelum Khalid bergerak bersama pasukannya menuju Madinah.
Oleh: Ustadz Abu Hafshoh
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 11 Tahun ke-9 1431 H/2010 M

PILAR-PILAR BERSEJARAH DI RAUDHAH MASJID NABAWI

Setidaknya ada 232 buah pilar atau tiang di Masjid Nabawi. Di antara ratusan pilar tersebut, ada beberapa pilar yang memiliki sejarah dan arti khusus. Meskipun beberapa kali mengalami perluasan –Alhamdulillah-, tempat-tempat tiang-tiang ini tetap terjaga. Sekarang, tiang-tiang itu diberi tanda untuk dikenali para peziarah.
Pada masa Rasulullah ﷺ, tiang-tiang Masjid Nabawi terbuat dari pohon kurma. Tiang-tiang tersebut terletak di Raudhah Syarifah yang luasnya 144 m2. Berikut ini adalah nama-nama tiang (usthuwaanah) yang berada di dalam Raudhah Masjid Nabawi:
  1. Al-Usthuwaanah al-Mukhalqah
  2. Al-Usthuwaanah al-Qur’ah atau Usthuwaanah Aisyah
  3. Usthuwaanah At-Taubah/Usthuwaanah Abu Lubabah
  4. Usthuwaanah As-Sarir
  5. Usthuwaanah Al-Haras
  6. Usthuwaanah al-Wufud
Banyak orang yang mengunjungi masjid Nabi tidak menyadari pilar ini atau tidak mengetahui latar belakang sejarahnya. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan gambaran tentang letak dan latar belakang sejarah tiang-tiang tersebut. Dan jika Anda ditakdirkan berkunjung ke Masjid Rasulullah ﷺ, Anda akan lebih meresapi jejak-jejak Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya di sana:
Pertama: Ustuwanaah al-Mukhallaqah
Makna dari al-Mukhallaqah adalah al-Muthayyabah yang diberi minyak wangi. Dari kata al-khaluq yang artinya parfum.
Jabir bin Abdullah mengatakan, “Orang pertama yang memberi wewangian pada Masjid Nabawi adalah Utsman bin Affan radhillahu ‘anhu. Ketika orang-orang Khaizuran datang berhaji pada tahun 70 H, diperintahkan agar masjid diberi wewangian. Yang menangani pemberian wewangian pada masjid ini adalah seorang wanita. Maka dia memberi wewangian seluruh bagian masjid termasuk kamar Nabi ﷺ”.
Diriwayatkan dari as-Samhudi dari Ibnu Zubalah bahwa Nabi ﷺ melaksanakan shalat wajib di tiang ini selama beberapa belas hari setelah perubahan arah kiblat.
Salamah bin al-Akwa’ radhiallahu ‘anhu mengupayakan untuk shalat di tiang ini. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, “Aku melihat Rasulullah ﷺ biasa shalat di tiang ini”.
Dan hingga sekarang, khususnya bagian raudhah Masjid Nabawi, dibersihkan dengan air mawar setiap hari.
Kedua: al-Usthuwaanah al-Qur’ah atau Ustuwanaah Aisyah
Lokasi tiang Aisyah
Lokasi tiang Aisyah
Pilar ini juga disebut “Utswaanah Qur-ah” atau tiang undian. Tiang ini juga disebut dengan tiang Muhajirin. Karena sahabat-sahabat Muhajirin sering duduk di dekatnya. Tempat ini awalnya digunakan Nabi ﷺ sebagai tempat shalat.
Tiang Aisyah
Tiang Aisyah
Tiang Aisyah terletak di tengah al-Rhaudhah asy-Syarifah. Yaitu tiang ketiga jika dihitung antara dinding makam Rasulullah ﷺ dan mimbar nabi. Tiang ini dinamai dengan “Usthuwaanah Aisyah” sebagai pengingat dan penghormatan kepada perjuangan Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha dalam penyebaran Islam.
Ketiga: al-Usthuwaanah At-Taubah/Usthuwaanah Abu Lubabah
Tiang ini merupakan tiang keempat dari mimbar, yang kedua dari kubur, dan yang ketiga dari arah kiblat. Tiang ini disebut tiang Abu Lubabah, yakni seorang sahabat Nabi ﷺ yang namanya adalah Rifa’ah bin Abdul Mundzir.
Lokasi tiang Abu Lubabah
Lokasi tiang Abu Lubabah
Pada Perang Bani Quraizhah, Rasulullah ﷺ mengutus Abu Lubabah radhiallahu ‘anhu kepada Bani Quraizhah. Melihat kedatangan Abu Lubabah, orang-orang Yahudi; laki-laki, wanita-wanita, dan anak-anak berlarian kepadanya. Kemudian mereka menangis hingga Abu Lubabah merasa iba pada mereka. Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah berkata kepada Abu Lubabah, “Hai Abu Lubabah, bagaimana pendapatmu kalau kami tunduk kepada hukum Muhammad?” Abu Lubabah menjawab, “Ya”. Abu Lubabah berkata seperti itu sambil memberi isyarat dengan tangan ke tenggorokannya, yang artinya siap-siaplah kalian mati.
Tiang at-Taubah atau Tiang Abu Lubabah
Tiang at-Taubah atau Tiang Abu Lubabah
Abu Lubabah menyesali apa yang ia ucapkan. Ia berkata, “Aku tidak beranjak dari tempatku ini hingga Allah menerima taubatku atas perbuatanku. Aku berjanji kepada Allah agar selama-lamanya tidak diperlihatkan pada negeri yang di dalamnya aku pernah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya”.
Ibnu Hisyam mengatakan, “Abu Lubabah mengikat diri pada tiang masjid selama enam hari. Pada masa itu, istrinya datang di setiap waktu shalat untuk melepaskan ikatan agar ia bisa mengerjakan shalat. Usai shalat, ia kembali mengikat diri”.
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, berkata, “Taubat Abu Lubabah diterima Allah”. Kemudian ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada Abu Lubabah?” Beliau ﷺ bersabda, “Silakan, jika engkau mau”. Ummu Salamah berdiri di depan pintu kamarnya –itu terjadi sebelum hijab diwajibkan– kemudian berkata, “Hai Abu Lubabah, bergembiralah, karena Allah telah menerima taubatmu”. Para sahabat pun mengerumuni Abu Lubabah untuk melepaskan ikatannya, namun ia berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak mau, hingga Rasulullah sendiri yang melepaskanku dengan tangannya”. Ketika Rasulullah ﷺ, keluar untuk menunaikan shalat subuh, beliau berjalan melewati Abu Lubabah, kemudian melepaskan ikatannya’.
Keempat: Usthuwaanah as-Sarir (ranjang)
As-sarir artinya ranjang. Di tempat ini Rasulullah ﷺ biasa beriktikaf. Beliau letakkan tempat tidurnya yang terbuat dari pelepah kurma, lalu berbaring di tempat ini. Karena itulah tiang ini dinamakan tiang as-sarir. Tiang ini terletak di sebelah Timur tiang Abu Lubabah.
Tiang as-Sarir
Tiang as-Sarir
Kelima: Usthuwaanah al-Hars
Di belakang (bila dilihat dari sisi Utara) tiang as-sarir, berdiri kokoh tiang al-Haras (penjagaan). Apabila berjumpa dengan masyarakat, Rasulullah duduk di tempat ini dan dijaga oleh para sahabatnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah yang paling sering menjaga beliau. Karena itu pula tiang ini dinamakan tiang Ali. Ketika Allah ﷻ menurunkan firman-Nya,
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ
“Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (QS:Al-Maidah | Ayat: 67).
Kiri: Tiang Wufud, Tengah: Tiang Ali/Haras, Kanan: Tiang Sarir
Kiri: Tiang Wufud, Tengah: Tiang Ali/Haras, Kanan: Tiang Sarir
Keenam: Usthuwaanah al-Wufud
Dari sisi utara, tiang ini terletak di belakang tiang al-Haras. Rasulullah ﷺ biasa duduk di sini tatkala menyambut para utusan dari bangsa Arab yang datang ke Madinah.

Kamis, 19 November 2015

SEJARAH PERLUASAN PERTAMA MASJID NABAWI DI ERA MODERN

Tidak bisa dipungkiri pelebaran Masjid Nabawi adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Dengan diterimanya agama Allah ini di berbagai penjuru dunia berkonsekuensi terhadap naiknya angka peziarah yang hendak datang ke masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Masjid Nabawi di Kota Madinah.
Banyaknya peziarah yang datang berbarengan dengan rangkaian ibadah haji atau umrah menuntut pemerintah dua tanah suci melayani para tamu Allah ini dengan jamuan yang terbaik. Nah salah satu bentuk pelayanan tersebut diwujudkan dengan pelebaran Masjid an-Nabawi agar para jamaah bisa beribadah dengan khusyuk dan tenang tanpa berdesak-desakkan dan membahayakan mereka.
Peluasan Masjid Nabawi 2
Foto pembangunan Masjid Nabawi pada tahun 1951-1955
Pelebaran Masjid Nabawi sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke-7 H. Setelah itu, kebijakan tersebut terus dilakukan oleh khalifah-khalifah setelah beliau hingga era modern ini. Di era modern, tahun 1951, Raja Abdul Aziz al-Saud mempelopori perluasan Masjid an-Nabawi dan menyediakan fasilitas-fasilitas yang canggih untuk para peziarah.
Dokumentasi
Setidaknya ada 52 gambar asli (lukisan) dan 216 koleksi foto yang memperlihatkan bagaimana masjid yang mulia ini diperluas di masa itu. Dokumen-dokumen tersebut milik Fahmi Moemen Bey, seorang arsitek berkebangsaan Mesir yang ditugaskan untuk merancang Masjid an-Nabawi.
Kubah Hijau
Kubah Hijau
Koleksi foto milik Fahmi Moemen Bey bisa dikatakan sangat lengkap. Ia memiliki detil gambar bagaimana dekorasi jendela, lengkungan-lengkungan, tipe ruang, dan pilar akan dihias dan diukir.
Pada tahun 1955, pelebaran pertama Masjid an-Nabawi di era modern itu rampung dilakukan. Masjid menjadi 3 kali lebih besar dari sebelumnya dan mampu menampung sekitar 28.000 jamaah.
Koleksi Keluarga Go Public
Namun baru-baru ini, keluarga Moemen Bey memutuskan untuk melelang koleksi klasik yang telah mereka miliki selama 60 tahun itu. Mereka menargetkan musem-museum untuk menjadi tempat persinggahan koleksi tersebut. Karena menurut mereka, koleksi tersebut akan lebih bermanfaat apabila ditempatkan di musem karena bisa dinikmati oleh banyak orang dan dijadikan sebagai bahan pendidikan sejarah perkembangan arsitektur Islam. Menjadikannya sebagai koleksi keluarga akan mengurangi kemanfaatannya. Selain itu, museum juga bisa merawat barang-barang kuno ini dengan lebih teliti dan detil.
Foto Fahmi Moemen Bey saat perluasan Masjid Nabawi tengah berlangsung
Foto Fahmi Moemen Bey saat perluasan Masjid Nabawi tengah berlangsung
Mudah-mudahan koleksi-koleksi tersebut mendapatkan rumah yang tepat untuk merawat mereka dan memudahkan kaum muslimin atau bahkan seluruh umat di dunia untuk menyaksikan rekam jejak masjid yang mulia itu.