Total Tayangan Halaman

Jumat, 18 Desember 2015

Sejarah Keberadaan Gereja di Indonesia – Tempat Ibadah Umat Kristen

Gereja di Indonesia terbagi dua, yaitu gereja Katolik dan gereja Kristen. Gereja Kristen di Indonesia, terlepas dari fakta bahwa Kristen sendiri merupakan agama minoritas, diperkirakan dimulai pada abad ke-12, dimana kaum Kristen Mesir mencatat bahwa ada beberapa gereja Kristen yang didirikan di Barus, daerah pantai barat Sumatra Utara yang merupakan sebuah pos perdagangan yang sering didatangi oleh saudagar India dan karena hal itu dikaitkan dengan Saint Thomas Christian yang ada di India. Meski begitu, tak ada bukti bahwa Kristen pernah tiba sebelum datangnya saudagar Portugis di abad ke-16. Untuk gereja Katolik, mulai muncul juga ketika pada awal abad ke-14, lewat misi Katolik Roma untuk mencapai Indonesia yang dipimpin oleh Mattiussi yang mengunjungi Sumatra, Jawa, dan Banjarmasin.
Sejarah Keberadaan Gereja di Indonesia - Tempat Ibadah Umat Kristen
Awal Perkembangan Gereja di Indonesia
Sejarah munculnya gereja di Indonesia dari sisi Kristen dimulai ketika orang-orang Portugis tiba di Kesultanan Malaka yang kini menjadi Malaysia pada tahun 1509 demi mencari kekayaan yang mereka punya. Awalnya, hubungan mereka berjalan baik hingga terjadi penundukkan Goa dan beberapa konflik antara Muslim dan Kristen yang menyebabkan kaum-kaum Muslim di Malaka berpendapat bahwa kedatangan Kristen Portugis hanya akan membawa masalah bagi mereka. Yang memperparah kejadian ini adalah penundukan Malaka, dimana kejadian tadi dinilai menjadi titik balik yang membuat seluruh umat Muslim Malaka menciptakan suatu sentimen yang melawan Kristen Portugis. Perlawanan juga muncul dari umat Muslim di Aceh, dan juga kekaisaran Ottoman. Meskipun pihak Portugis berhasil membangun beberapa gereja, kedatangan mereka di Malaka lebih dinilai sebagai kesan negatif dibandingkan tujuan awal mereka untuk mempromosikan agama tersebut.
Di sisi Katolik, Mattiussi yang merupakan seorang biksu Italia mengaku bahwa ia ditugaskan oleh sang Paus untuk berlayar dari Padua menuju Sumatra sebelum akhirnya tiba di Jawa dan Banjarmasin. Misi ini dimulai pada tahun 1318, dan diakhiri dengan kepulangannya melalui darat melintasi Tiongkok, Vietnam, serta Eropa ditahun 1330. Di catatan yang ia buat, tertulis juga sebuah kerajaan Jawa yang memiliki corak Hindu-Buddha, seperti pada Majapahit. Misi tersebut dinilai sebagai misi pionir, dimana karena misi ini gereja Katolik bisa memiliki Informasi tentang kondisi Asia, dimana pada waktu itu belum ada sama sekali pengaruh agama Katolik di benua tersebut.
Ketika terjadi pendudukan Malaka pada tahun 1511 oleh pihak Portugis, misionaris Katolik juga seketika tiba di daerah itu. Salah satu dari yang paling terkenal dan penting dalam perkembangan sejarah gereja di Indonesia adalah Francis Xavier. Ketika orang-orang Portugis diusir keluar Ternate pada tahun 1574, banyak umat Katolik di daerah tersebut yang dibunuh atau secara paksa diubah keyakinannya menjadi Islam. Pada tahun 1605, orang-orang Katolik yang masih tersisa dipaksa lagi untuk menganut ajaran baru, yaitu Protestan. Baru pada tahun 1808 dibawah pimpinan Daendels, umat Katolik diberikan kebebasan untuk menganut agama mereka sendiri.
Kembali menelusuri sejarah gereja Kristen adalah ketika pada tahun 1972, seorang asli Bali yang bernama I Wayan Mastra memeluk agama Kristen ketika ia sedang bersekolah di sekolah Kristen di pulau Jawa. Ia kemudian menjadi ketua GKPB dan memulai proses Balinisasi, dimana ia mencoba membuat gereja-gereja Kristen di Bali menjadi lebih terbuka akan budaya-budaya Bali, mengikuti gereja Katolik Bali yang sudah terlebih dahulu melakukan hal seperti itu.
Sejarah gereja di Indonesia terutama gereja Katolik kembali mengalami perubahan ketika pada tahun 1896, seorang pendeta dari Belanda yang bernama Frans van Lith datang ke Muntilan, Jawa Tengah. Awalnya, apapun yang ia coba tidak berakhir baik namun akhirnya pada tahun 1904 ada 4 pemuka kota yang berasal dari Kalibawang datang ke rumahnya dan meminta pengajaran tentang agama yang ia bawa. Pada tanggal 15 Desember di tahun yang sama, 178 masyarakat Jawa akhirnya dibaptis di daerah Semagun. Selain itu, Van Lith juga mendirikan sekolah untuk guru di Muntilan dimana sekolah ini diberi nama Normaalschool pada tahun 1900 dan berubah menjadi Kweekschool pada 1904. Pada tahun 1911, Van Lith kembali mendirikan Seminari Menengah yang berhasil mencetak orang-orang penting di sejarah Katolik Indonesia yaitu FX Satiman SJ, Albertus Soegijapranata SJ, dan Adrianus Djajasepoetra SJ.
Gereja Kristen sendiri, meskipun agamanya tetap menjadi minoritas di berbagai daerah, tidak berhenti menyebarkan ajarannya. Sehingga pada tahun enampuluhan, banyak penganut komunisme dan masyarakat Tiongkok yang beralih ke Kristen karena adanya jargon anti-komunis dan anti-Confucian. Pada masa-masa ini juga mulai banyak dibuat sekolah-sekolah Kristen yang mengajarkan tentang agama tersebut. Hingga saat ini, Gereja Kristen masih terus berusaha untuk berkembang lebih pesat dari perkembangannya sebelumnya.
Uskup pertama di gereja Katolik Indonesia adalah Albertus Soegijapranata SJ yang diangkat pada tahun 1940. Delapan tahun berikutnya pada di 20 Desember, dua penganut bernama Sandjaja serta Hermanus Bouwens dibunuh di sebuah desa yang bernama Kembaran, dimana akhirnya Sandjaja dinilai adalah martir dari gereja Katolik di Indonesia. Beberapa pahlawan Indonesia yang terkenal juga merupakan seorang penganut Katolik seperti Agustinus Adisoetjipto, Ignatius Slamet Riyadi, dan Yos Soedarso. Mungkin fakta-fakta ini juga lah yang membuat sejarah gereja di Indonesia, terutama gereja Katolik berkembang dengan sangat pesat. Meski begitu, pada tahun 1990-an dan awal tahun 2000 terjadi sebuah kerusuhan yang menargetkan para penganut Katolik dan Kristen. Untungnya pada saat itu, Abdurrahman Wahid yang menjadi pemimpin Nahdatul Ulama mampu menekan antipati yang ada diantara pihak dengan agama yang berbeda-beda itu.

Mengenal Sejarah Terbentuknya Negara Suriah di Dunia

Mengenal Sejarah Terbentuknya Negara Suriah di Dunia - Suriah merupakan salah satu pusat peradaban paling tua di muka bumi. Saat ini dipimpin oleh Presiden Bashar al-Assad dan pada masa sekarang ini sedang mengalami konflik bersenjata internal.Dulu Penggalian oleh para arkeolog pada 1975 di Kota Ebla bagian utara Suriah menunjukkan, sebuah kerajaan Semit sempat berdiri dan menyebar dari Laut Merah ke Turki dan Mesopotamia pada 2500-2400 SM.

Etnis Suriah diketahui merupakan etnis Semit dengan 90 persen terdiri atas warga Muslim, 74 persen Sunni dan 16 persen terdiri atas kelompok Muslim lainnya termasuk Alawi, Syiah dan Druze. Sementara 10 persen adalah warga Kristen.

Pada 1920, sebuah kerajaan Arab dibawah kekuasaan Raja Faysal dari keluarga Hashimiah didirikan di Suriah. Tidak hanya menjadi raja Suriah namun Raja Faysal juga menjadi Raja di Irak. Kekuasaannya di Suriah berakhir seiring dengan kekalahan pasukannya melawan Prancis dalam pertempuran Maysalun.

Selama beberapa tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meletakkan Suriah di bawah mandat Prancis sebelum akhirnya Prancis terpuruk pada 1940. Kendali atas Suriah pun segera diambil Pemerintahan Vichy hingga Pemerintah Inggris dan Prancis kembali menjajah negara tersebut pada Juli 1941. Demikian ditulis State, Sabtu (18/8/2012).

Namun penjajahan ini sendiri tidak berlangsung lama karena kelompok nasionalis Suriah mendesak agar Prancis segera menarik keluar pasukannya dari Suriah pada April 1946. Suriah pun ditinggalkan Prancis dalam kendali pemerintahan republik yang telah lebih dulu terbentuk ketika Prancis memegang mandat PBB atas negara itu.

Kendati perkembangan ekonomi Suriah berlangsung pesat diikuti dengan deklarasi kemerdekaan pada 17 April 1946, namun pergolakan politik justru terjadi di negara itu pada 1960-an.

Suriah dan Mesir diketahui sempat bersatu membentuk Republik Persatuan Arab, namun persatuan ini tidak berhasil sehingga memicu terjadinya kudeta militer pada 28 September 1961. Suriah pun akhirnya memisahkan diri dan bangkit kembali sebagai Negara Republik Suriah. Kabinet baru pun dibentuk di bawah bayang-bayang Partai Ba'ath.

Kudeta militer kembali terjadi pada 13 November 1970 dimana Menteri Pertahanan Suriah saat itu Hafiz al-Asad menobatkan dirinya sebagai Perdana Menteri. Setelah 30 tahun berkuasa penuh atas Suriah pada 10 Juni 2000 Hafiz al-Assad pun dilaporkan tutup usia.

Pada masa ini perubahan konstitusi pun terjadi, dimana parlemen menghendaki usia minimun bagi presiden adalah 40-43 tahun. Perubahan ini memungkinkan putra Hafiz al-Assad, Bashar al-Assad untuk terpilih sebagai presiden dimana ia maju mencalonkan diri tanpa pesaing. Bashar al-Assad secara resmi dilantik pada 17 Juli 2000 untuk masa jabatan 7 tahun. 

Kamis, 17 Desember 2015

AWAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN ACEH

gambar
2.1 Awal Mula Berdirinya Kerajaan Aceh
Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)
Setelah memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden, 2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim untuk terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia. Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh, dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh salah seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden, 2008: 387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia mencoba menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September 1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di Semenanjung adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali Ri’ayat Syah. Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari nusantara maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588, Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman Syah atau Sultan Muda hingga tahun 1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31)

2.2 Masa Kejayaan Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan internasional, memperkuat armada perangnya, serta mampu mengembangakan dan memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro: 2010, 31)
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
Kemajuan dibidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia pernah mengirimkan utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan Aceh (Harry Kawilarang, 2008: 21-22)
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U AdyanSyamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-ImanNuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil(http://ridwanaz.com/umum/sejarah/sejarah-kerajaan-aceh-pada-masa-kejayaan-dan-keruntuhannya/)
Dalam hubungan ekonomi-perdagangan dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan Perancis, Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-komoditas yang diimpor antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain batik mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain kayu cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan (Poesponegoro: 2010, 31)
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar. Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara (Harry Kawilarang, 2008: 24)

SEJARAH MASA KEEMASAN KESULTANAN ACEH DARUSSALAM, 1496–1903

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan & menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. Kesultanan Aceh Darussalam merupaken sebuah kerajaan Islam yg pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja [Banda Aceh] dengan sultan pertamanya ialah Sultan Ali Mughayat Syah yg dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507.
Dalam sejarahnya yg panjang itu [1496-1903], Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah & menakjubkan, terutama karena kemampuannya dlm mengembangkan pola & sistem pendidikan militer, komitmennya dlm menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yg teratur & sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, sampai kemampuannya dlm menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yg bernama Salahuddin, yg kemudian berkuasa sampai tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yg berkuasa sampai tahun 1568.
Kemunduran Kesultanan Aceh
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera & Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli & Mandailing, Deli serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Traktat London yg ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India & juga berjanji tak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura. Pada akhir November 1871, lahirlah apa yg disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas “Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan. ”
Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh & digabungkan sebagai bagian dari negara Hindia Timur Belanda. Pada tahun 1942, pemerintahan Hindia Timur Belanda jatuh di bawah kekuasan Jepang. Pada tahun 1945, Jepang dikalahkan Sekutu, sehingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di ibukota Hindia Timur Belanda [Indonesia] segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke dlm Republik indonesia atas ajakan & bujukan dari Soekarno kepada pemimpin Aceh Sultan Muhammad Daud Beureueh saat itu.
Masa kejayaan, Sultan Iskandar Muda, Berhasil Melawan Kekuatan Portugis di Selat Malaka
Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda [1607-1636]. Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dlm La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda [Sumatera, Jawa & Kalimantan] serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yg melayari Lautan Hindia.
Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yg terdiri dari 500 buah kapal perang & 60. 000 tentara laut. Serangan ini dlm upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka & semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Malaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang. Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan & ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yg karangan mereka menjadi rujukan utama dlm bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dlm bukunya Tabyan Fi Ma’rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dlm bukunya Mi’raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dlm bukunya Sirat al-Mustaqim, & Syekh Abdul Rauf Singkili dlm bukunya Mi’raj al-Tulabb Fi Fashil.
Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 sesudah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tak berhasil merebut wilayah yg besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, & pada 1892 & 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yg telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para ulama, & hormat kepada sultan.
Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Gubernur Jendral Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, mendapat pangkat Tuanku Tijan, & bersama wakilnya, Hendrikus Colijn, yg mendepat pangkat Tuanku Niman untuk menata Aceh. Pada tahun 1903 Sultan Muhammad Daud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda sesudah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya berada dlm kegelapan pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Sultan Aceh keturunan Perak
Sultan Alauddin Mansur Syah ibn Ahmad 1577 / 1579 -1589 / dibunuh sekitar 1586 Putra Sultan Ahmad, Sultan Perak 1549-1577.
Dinasti Makota Alam
Sultan Ali Mughayat Syah 1496-1528 / 7 Agustus 1530 Pendiri kerajaan, putera dari Syamsu SyahSultan Salahuddin ibn Ali Malik az Zahir 1528 / 1530 -1537 / 1539 putra dari No. 1. Wafat tanggal 25 November 1548.Sultan Alauddin ibn Ali Malik az ZahirSultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar 1537-1568 / 28 September 1571 putra dari No. 1 & adik dari No. 2.Sultan Ali ibn Alauddin Malik az ZahirSultan Husain Ali Riayat Syah 1568 / 1571 -1575 / 8 Juni 1579 putra dari No. 3.Sultan Muda 1575 / 1579 putra dari No. 4. Baru berumur beberapa bulan pada saat dijadikan sultan.Sultan Sri AlamSultan Firman Syah ibn Alauddin 1575-1576 / berkuasa hanya pada 1579 putra dari No. 3. Juga merupaken Raja PariamanSultan Zainal Abidin ibn Abdullah 1576-1577 / berkuasa hanya pada 1579 cucu dari No. 3. Putra Sultan Abdullah Raja Aru
Sultan Aceh keturunan Inderapura
Sultan Ali ibn Munawar SyahSultan Buyung 1589 / 1586 -1596 / 28 Juni 1589 anak seorang raja Indrapura. [Sultan Munawar Syah]
Dinasti Darul-Kamal
Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil 1596 / 1589 -1604 cucu dari saudara ayahnya No. 1. putra dari Firman Syah, keturunan Inayat Syah, raja Darul-Kamal.Sultan Ali Riayat Syah 1604-1607 putra dari No. 10.
Peleburan dari kedua dinasti tersebut
Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam 1607-27 Desember 1636 cucu [melalui ibu] dari No. 10 & cicit dari No. 3 melalui ayah.
Sultanah Aceh
Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam 1641-1675 Putri dari No. 12 & istri dari No. 13Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam 1675-1678Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah 1678-1688Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah 1688-1699 Saudari angkat dari No. 16, istri dari No. 18,serta ibu dari No. 19 & No. 20
Sultan-sultan Aceh Dinasti Syarif
Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin 1699-1702 Suami dari No. 17, serta ayah dari No. 19 & No. 20Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui 1702-1703Sultan Jamalul Alam Badrul Munir 1703-1726Sultan Jauharul Alam Aminuddin 1726Sultan Syamsul Alam 1726-1727
Sultan Aceh keturunan Pahang
Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah 1636-15 Februari 1641 putra Sultan Pahang, Ahmad Syah II. Menantu dari No. 12 & suami dari No. 14.
Sultan Aceh keturunan Bugis
Keturunan sultan-sultan terakhir Aceh yg masih memiliki garis keturunan Bugis.
Sultan Alauddin Ahmad Syah 1727-1735Sultan Alauddin Johan Syah 1735-1760 putra dari No. 23Sultan Mahmud Syah 1760-1764 putra dari No. 24, ditumbangkan olehSultan Badruddin Johan Syah 1764-1765 dipulihkan & dikembalikan kepadaSultan Mahmud Syah 1765-1773Sultan Sulaiman Syah 1773 dipulihkan & dikembalikan lagi kepadaSultan Mahmud Syah 1773-1781Alauddin Muhammad Syah 1781-1795 putra dari No. 25Sultan Alauddin Jauhar al-Alam 1795-1823 putra dari No. 28. Wali dari No. 27 sampai tahun 1802. Digugat olehSultan Syarif Saif al-Alam 1815-1820Sultan Alauddin Jauhar al-Alam 1795-1823 Dikembalikan posisinya dengan bantuan Raffles, Inggris.Sultan Muhammad Syah 1823-1838 putra dari No. 29.Sultan Sulaiman Syah 1838-1857 putra dari No. 31. Wali dari No. 33 sampai 1850, digugat oleh No. 33 pada 1870Sultan Mansur Syah 1857-1870 putra dari No. 29.Sultan Mahmud Syah 1870-1874 putra dari No. 32.Sultan Muhammad Daud Syah 1874-1903 cucu dari No. 33. Wali dari Tuanku Hasyim sampai 1884. Ditangkap oleh Belanda & turun takhta pada 1903
Gelar Kesulatanan Aceh
CutLaksamanaPanglima SagoeUleebalangMeurahTeungkuTuankuTeuku

DARI BANGKIT DAN RUNTUHNYA KESULTANAN ACEH

Seorang pakar Asia Tenggara kelahiran Selandia Baru yang bernama Anthony Reid, banyak mengupas tentang kejayaan dan kemakmuran Kesultanan Aceh. Salah satu bukunya yang menarik adalah “Asal Mula Konflik Aceh : Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19”. Dalam buku tersebut Reid bercerita tentang kegemilangan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda, yang mampu menguasai separuh garis pantai timur dan barat Sumatra, hingga menjadi kerajaan taklukan Belanda di akhir abad ke-19. Dalam buku “An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra”, lebih jauh Reid mengungkapkan tentang kemegahan dan kekayaan yang diperoleh raja-raja Aceh berkat kegigihan mereka dalam berdagang. Dari buku-buku karangan Reid, ada beberapa poin yang bisa ditangkap terkait dengan kegemilangan Aceh di masa lalu : Islam, Penguasaan Selat Malaka, dan Aliansi Politik dengan Turki Utsmani. Tiga pokok inilah yang membuat Aceh bisa bertahan lama, dan mengalami masa-masa paling gemilang yang mungkin tidak pernah dialami oleh penduduk Nusantara lainnya.
Kesultanan Aceh terletak di ujung utara Pulau Sumatra. Pintu masuk Selat Malaka dan di bibir pantai Lautan Hindia. Diawali oleh kerajaan kota Samudera dan Pasai, Aceh berkembang menjadi daerah kosmopolitan. Orang-orang dari berbagai bangsa menginjakkan kakinya di sudut pulau Sumatra itu, sebelum meneruskan perjalanannya ke pulau rempah-rempah atau ke negeri di atas angin. Mereka datang ke Aceh, bukan hanya untuk membongkar sauh atau sekedar mengisi perbekalan, namun juga mengembangkan peradaban. Para musafir Arab dan Gujarat, boleh jadi merupakan pihak terpenting dalam membangun dasar-dasar peradaban Aceh.
Islam, yang dibawa oleh pedagang Arab, Gujarat, dan Persia, menjadi perekat sekaligus sumber kejayaan orang-orang Aceh. Dari ajaran Islam, undang-undang disusun dan ditegakkan. Kuatnya Aceh dalam penerapan hukum Islam, seperti : ekonomi bagi hasil, hukuman rajam dan cambuk, menjadikan negeri ini aman sentosa. Situasi kerajaan yang kondusif, melahirkan pula para seniman, sastrawan, dan para pedagang yang kaya raya. Meskipun wirausahawan kebanyakan datang dari keluarga raja, namun diterapkannya sistem sosialis Islam dalam perekonomian Aceh, memunculkan masyarakat egaliter yang memiliki daya beli cukup kuat. Tak adanya ketimpangan ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat, menjadi salah satu sebab bertahannya Aceh dalam kurun waktu yang cukup lama.
Penguasaan jalur perdagangan tersibuk pada masa itu : Selat Malaka, menjadi faktor berikutnya yang mengantarkan Aceh kepada zaman gilang-gemilang. Jatuhnya kota Malaka di tahun 1511 oleh serangan Portugis, menjadi titik balik bagi kebangkitan Aceh. Estafet peradaban Melayu yang sebelumnya dibina oleh Kerajaan Malaka, diambil alih Kesultanan Aceh. Para saudagar muslim yang biasanya berkumpul di Malaka, perlahan-lahan beringsut meninggalkan kota tersebut untuk menetap dan berdagang di Kutaraja. Selain perdagangan, ilmu pengetahuan dan sastra juga berkembang cukup pesat. Beberapa cendekiawan Aceh seperti Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkel, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Nuruddin Al-Raniri, banyak melahirkan karya besar yang kemudian menjadi rujukan para sastrawan dan ilmuwan Melayu.
Pada abad ke-16, hanya Portugis-lah pesaing serius Kesultanan Aceh di Selat Malaka. Meski kekuatan Aceh telah bersatupadu dengan kerajaan-kerajaan kecil di pantai timur Sumatra, namun Portugis tetap tak terkalahkan. Sampai tahun 1641, Portugis terus menguasai Malaka hingga akhirnya takluk di bawah kekuatan VOC. 130 tahun persaingan Aceh versus Portugis di Selat Malaka, banyak memberikan keuntungan bagi perdagangan Aceh. Kutaraja, ibukota sekaligus pelabuhan terpenting kerajaan, segera menjelma menjadi kota paling sibuk di Kepulauan Nusantara. Pengusaha muslim dari berbagai negara yang menghindari kekuatan Portugis di Malaka, banyak bertransaksi disini dan kemudian membangun pemukiman mereka. Pada masa itu, daerah Aceh Besar memiliki penduduk hingga 300.000 jiwa, dan merupakan salah satu wilayah terpadat di Indonesia.
Kekayaan ibukota-pelabuhan itu, memungkinkan para penguasa selanjutnya untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang bergantung kepada ekonomi pertanian. Didukung oleh angkatan laut yang mumpuni, Aceh menyerang kerajaan-kerajaan pantai timur Sumatra. Daya, Aru, Asahan, Deli, dan Panai, dalam waktu relatif singkat berhasil ditaklukkan. Politik ekspansi Aceh di pantai timur, tertahan oleh pasukan Minangkabau yang menyokong Kesultanan Siak. Persaingan tajam antara Aceh dan Minangkabau, adalah rivalitas klasik sepanjang tiga abad (abad ke-16 hingga ke-18) sejarah dunia Melayu. Mereka tak hanya bersaing dalam perebutan hegemoni Pulau Sumatra, namun juga hingga ke Semenanjung Malaysia. Di Semenanjung, Aceh berhasil menancapkan kekuasaannya di Kedah, Pahang, dan Johor. Sedangkan di pantai barat, pelabuhan-pelabuhan penting imperium Minangkabau : Barus, Natal, Tiku, Pariaman, dan Padang, juga berhasil dikuasainya. Penguasaan Aceh atas sebagian wilayah Sumatra dan Semenanjung, memungkinkan mereka untuk memonopoli perdagangan lada yang menjadi komoditi penting di Eropa dan Timur Tengah. Keuntungan besar memonopoli, membuat negeri serambi Mekkah itu semakin kaya raya.
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1537 – 1571) dan kemudian Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636), Aceh merupakan negara militer terkuat di Nusantara. Kekuatan militernya terutama berkat dukungan Imperium Turki Utsmani, yang pada masa itu menjadi adidaya dunia. Dengan perlengkapan senjata serta kapal-kapal perang modern, Aceh beberapa kali mengancam kekuatan Portugis di Selat Malaka. Meski penyerangan pada tahun 1547 dinilai gagal, namun peperangan di tahun 1562 memberikan kemenangan untuk Aceh. Pada tahun 1586, sekali lagi Aceh menyerang Portugis di Malaka. Kali ini Aceh menurunkan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang serta 60.000 tentara laut. Namun penyerangan ini kembali dapat dipatahkan oleh aliansi Portugis-Johor. Pada masa pemerintahan Iskandar Muda, Aceh banyak merekrut legiun-legiun asing. Angkatan perangnya ketika itu terdiri dari serdadu asal Turki, Malabar, Luzon, dan Ethiopia. Didukung oleh kekuatan tempur terbaik, pada permulaan abad ke-17 Aceh berhasil menguasai Semenanjung dan meminimalisir peran Portugis di Selat Malaka.
 
Kemunduran Aceh
Meski Iskandar Muda mampu memperluas teritori kerajaan, namun ia tidak sanggup mengendalikan pertanian dan orang-orang kaya di sekitar ibu kota. Semakin padatnya penduduk Aceh, maka diperlukan lahan pertanian yang makin besar untuk mencukupi pangan mereka. Invasi Iskandar Muda ke tanah Batak yang subur, tak cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat Aceh yang terus meningkat. Dennys Lombard melukiskan bahwa kemunduran Aceh pada abad ke-17 disebabkan oleh keberhasilannya yang terdahulu. Dimana daerah perkotaan-pelabuhan telah berkembang sedemikian rupa melampaui kemampuannya untuk menghidupi masyarakatnya.
Rongrongan dari raja Pagaruyung atas kota-pelabuhan di pesisir barat, juga menjadi pemicu rontoknya pamor Kesultanan Aceh. Tiku, Pariaman, dan Padang yang selama ini menjadi basis perdagangan lada yang cukup menguntungkan, satu per satu mulai melepaskan diri. Kehadiran Belanda dan kemudian Inggris di Selat Malaka, ikut mengganggu kedudukan Aceh di perairan tersebut. Dua kekuatan baru Eropa ini, bahkan memiliki jaringan dagang dan militer yang lebih solid dibandingkan Portugis pesaing mereka terdahulu.
Setelah mangkatnya Sultan Iskandar Tsani (1636 – 1641), Aceh masuk ke dalam era kepemimpinan sultanah. Diawali dari Ratu Safiatuddin Tajul Alam — janda Iskandar Tsani yang juga merupakan putri Iskandar Muda — hingga Ratu Zainatuddin Kamalat Syah, tanah rencong memasuki zaman kegoyahan. Setelah itu, Aceh diperintah oleh sebelas orang sultan yang tak memiliki arti. Tiga orang keturunan Arab (1699 – 1726), dua orang Melayu (1726), dan enam orang berkebangsaan Bugis (1727 – 1838). Pada masa kepemimpinan mereka, wilayah kekuasaan yang begitu luas mulai tak terkendali. Negeri-negeri tetangga, terutama Johor dan Minangkabau, menggerogoti Aceh dari segala penjuru. Hingga akhir abad ke-18, daerah kekuasaan Aceh tidak melebihi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dewasa ini. Bahkan beberapa wilayah Aceh di Meulaboh dan Tapaktuan, masuk ke dalam koloni dagang Minangkabau.
Mundurnya angkatan perang Aceh juga disebabkan oleh pudarnya dominasi Turki di Lautan Tengah. Negara-negara Barat macam Inggris dan Belanda, sudah tak takut lagi dengan pengaruh militer Turki Utsmani di Aceh. Bahkan mereka telah berembuk melalui Traktat London (1824) dan Traktat Sumatra (1871), untuk menghabisi Kesultanan Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam berkebangsaan Belanda, menjadi arsitek kekalahan Aceh dalam perang yang penuh kebrutalan. Pada tahun 1904, secara de facto dan de jure Aceh takluk dan menjadi bagian Hindia-Belanda.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, tak banyak yang bisa dilakukan rakyat Aceh untuk mengembalikan marwah dan posisi mereka. Malah yang didapat adalah kekecewaaan demi kekecewaan yang pada gilirannya melahirkan pemberontakan yang banyak menyengsarakan rakyat. Tak hanya itu, pemberontakan ini juga berakibat tereliminasinya kedudukan Aceh dalam kursi elit republik. Dimana sedikit sekali menteri-menteri dan pimpinan partai politik yang datang dari kalangan Aceh. Kini tak ada lagi kebanggaan yang tersisa. Setelah pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka yang kemudian disusul oleh bencana tsunami, Aceh menjadi salah satu negeri termiskin di Indonesia. Namun ada secercah harapan yang muncul, dari banyaknya mahasiswa Aceh yang duduk di berbagai universitas terkemuka tanah air. Mereka tidak hanya pintar dalam menyerap ilmu pengetahuan yang diajarkan, namun juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan sosial-politik. Diharapkan ! mereka inilah nantinya yang akan menjadi tunas-tunas baru bagi kebangkitan bangsa Aceh

KERAJAAN ISLAM ACEH

Kerajaan Islam Aceh – Pada mulanya Aceh dikuasai oleh Kerajaan Pedie. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, 1511, banyak pedagang-pedagang Islam yang semula singgah di Malaka pindah ke Aceh. Pedagang India juga tidak lagi singgah di Malaka karena Portugis memungut bea cukai yang tinggi dan monopoli. Akibatnya pelayaran dan perdagangan di Aceh semakin ramai. Aceh semakin kaya dan semakin kuat untuk akhimya melepaskan diri dari Kerajaan Pedie.
Pendiri sekaligus raja pertama kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan lbrahim (1514-1528). Di bawah kekuasaannya Aceh berkembang dengan pesat dan wilayahnya semakin luas. Beberapa daerah di Sumatera Utara seperti Daya dan Pasai berhasil ditaklukkan. Bahkan sejak tahun 1515 Aceh sudah berani menyerang Portugis di Malaka dan juga menyerang Kerajaan Aru.
Sultan Ali Mughayat Syah digantikan putranya bergelar Sultan Salahuddin (1528-1537). Ia tidak mampu memerintah Aceh dengan baik sehingga Aceh mengalami kemerosotan. Oleh karena itu ia digantikan saudaranya Sultan Alauddin Riayat Syah (1537-1568).
la melakukan perubahan dan perbaikan di berbagai bidang serta melakukan perluasan kekuasaan. Setelah Sultan Alaudin meninggal Aceh mengalami masa suram. Pemberontakan dan perebutan kekuasaan sering terjadi. Keadaan ini berlangsung cukup lama sampai dengan Sultan lskandar Muda naik tahta (1607-1636 M).
Di bawah pemerintahan Sultan lskandar Muda, kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan Islam di Selat Malaka, bahkan menjadi bandar transito yang menghubungkan dengan pedagang Islam di dunia barat. lskandar Muda beberapa melakukan penyerangan terhadap Portugis dan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaka. Aceh juga menduduki daerah-daerah seperti Aru, Pahang, Kedah, Perlak dan Indragiri, sehingga wilayah Aceh sangat luas.
Sultan lskandar Muda digantikan oleh menantunya yang bergelar Sultan lskandar Thani (1636-1641). la melanjutkan tradisi kekuasaan Sultan lskandar Muda, tetapi ia tidak lama memerintah karena wafat tahun 1641 M. Penggantinya, permaisurinya (Putri lskandar Muda), yang bergelar Putri Sri Alam Permaisuri (1641-1675). Sejak itu Kerajaan Aceh terus mengalami kemunduran dan akhimya runtuh karena dikuasai Belanda pada permulaan abad ke-20.