Banda Aceh atau Banda Aceh Darussalam telah dikenal sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam sejak tahun 1205 dan merupakan salah satu kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Kota ini didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601H (22 April 1205) oleh Sultan Alaidin Johansyah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri.
Jika kita mengacu pada tanggal di atas maka kota Banda Aceh kini telah tak kurang dari 807 tahun. Sebuah usia yang relatif muda jika dibandingkan dengan kota-kota tua di dunia namun termasuk sangat tua jika dibanding dengan kota-kota lain di Indonesia yang baru tumbuh. Layaknya kota tua tentu banyak sekali situs bersejarah yang terdapat di kota yang memproklamirkan diri sebagai Bandar Wisata Islami ini. Salah satunya yang cukup terkenal adalah Kuburan Belanda Kerkhof Peucut yang terletak di Kelurahan Blower Kecamatan Baiturrahman. Lokasinya mudah dijangkau karena terletak di depan Lapangan Blang Padang Banda Aceh.
Jika kita mengacu pada tanggal di atas maka kota Banda Aceh kini telah tak kurang dari 807 tahun. Sebuah usia yang relatif muda jika dibandingkan dengan kota-kota tua di dunia namun termasuk sangat tua jika dibanding dengan kota-kota lain di Indonesia yang baru tumbuh. Layaknya kota tua tentu banyak sekali situs bersejarah yang terdapat di kota yang memproklamirkan diri sebagai Bandar Wisata Islami ini. Salah satunya yang cukup terkenal adalah Kuburan Belanda Kerkhof Peucut yang terletak di Kelurahan Blower Kecamatan Baiturrahman. Lokasinya mudah dijangkau karena terletak di depan Lapangan Blang Padang Banda Aceh.
Makam ini sendiri keberadaannya sudah sangat lama. Menurut catatan yang diperoleh dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) di Banda Aceh dikatakan bahwa terdapat tidak kurang dari 2.200 makam orang Belanda, dari serdadu biasa sampai Jenderal, berbagai suku bangsa yang tergabung dengan tentara kolonial, bahkan ada juga sekelompok makam orang Yahudi yang dulu tinggal di Aceh! Diantara kuburan-kuburan itu masih dapat dibaca jelas nama-nama dan pangkat mereka serta tahun-tahun dan tempat dimana mereka tewas. Ada juga berbagai tugu nama-nama jenderal legendaris dalam perang kolonial di Aceh yang diukir demikian indah.
Jika kita melihat nisan-nisan yang tersebar di lahan seukuran tiga kali lapangan bola maka penanggalan tertua makam adalah kuburan seorang prajurit angkatan laut Belanda yang tewas karena terkena penyakit kolera, bertanggal 27 Desember 1873.
Kuburan Belanda Kerkhof atau yang lebih dikenal dengan sebutan kuburan Peucut dikelola oleh Yayasan Dana Peutjut yang didirikan tanggal 29 Januari 1976, setelah kunjungan seorang Kolonel pensiunan tentara Marsose yang bernama J.H.J. Brendgen.
Selama kunjungannya ditemukan bahwa kuburan militer Peutjut dan bekas kuburan militer lainnya pada tempat-tempat tertentu di Aceh berada dalam kondisi yang mengenaskan alias tidak terawat. Yayasan ini dimaksudkan untuk melestarikan kuburan militer Peutjut agar dapat dipelajari oleh generasi mendatang. Sedangkan dana untuk perawatan dan perbaikan berasal dari para donatur dari negeri Belanda.
Jika kita melihat nisan-nisan yang tersebar di lahan seukuran tiga kali lapangan bola maka penanggalan tertua makam adalah kuburan seorang prajurit angkatan laut Belanda yang tewas karena terkena penyakit kolera, bertanggal 27 Desember 1873.
Kuburan Belanda Kerkhof atau yang lebih dikenal dengan sebutan kuburan Peucut dikelola oleh Yayasan Dana Peutjut yang didirikan tanggal 29 Januari 1976, setelah kunjungan seorang Kolonel pensiunan tentara Marsose yang bernama J.H.J. Brendgen.
Selama kunjungannya ditemukan bahwa kuburan militer Peutjut dan bekas kuburan militer lainnya pada tempat-tempat tertentu di Aceh berada dalam kondisi yang mengenaskan alias tidak terawat. Yayasan ini dimaksudkan untuk melestarikan kuburan militer Peutjut agar dapat dipelajari oleh generasi mendatang. Sedangkan dana untuk perawatan dan perbaikan berasal dari para donatur dari negeri Belanda.
Banyak hal-hal menarik yang dapat ditemui dalam perkuburan Kerkhof. Kisah-kisah tentang sang prajurit yang terkubur semasa hidupnya diceritakan sekilas pada batu nisan. Kuburan-kuburan ini seolah bercerita kepada pengunjung tentang bagaimana ‘penghuninya’ semasa hidup.
Jika pengunjung teliti maka akan ditemukan berbagai kisah mengharukan dan juga lucu tertera pada batu nisan. Mulai dari prajurit yang tewas secara heroik dalam perang tertembus kelewang hingga yang mati konyol ditusuk rencong saat jalan-jalan sore. Ada juga kisah mengharukan dari seorang Letnan muda De Bruyn yang rela meninggalkan acara perkawinannya di Pendopo Aceh yang megah menuju medan perang yang ganas di Seunagan dan menemui ajalnya di sana tahun 1902. Namun sayangnya, banyak tulisan-tulisan di nisan yang telah dirusak oleh tangan-tangan jahil tidak bertanggung jawab.
Salah satu petugas pemelihara makam, Nurhabibah, menceritakan kondisi makam saat ini. Bunga-bunga seperti Melati, Keupula, bouegenvilee, bunga pisang dan lainnya tersebar memenuhi kawasan perkuburan. Batu-batu nisan secara teratur dicat dengan warna putih.
Sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), kantor yang menangani dokumen-dokumen sejarah Aceh, Ridwan, dalam sebuah kesempatan memberikan informasi berkenaan dengan kuburan Belanda Kerkhof Peutjut. Ridwan mengatakan banyak sekali buku-buku yang berkaitan dengan Kerkhof tersimpan di PDIA, walaupun sebagian telah rusak terkena tsunami namun masih sangat bermanfaat.
Sebuah buku tebal dengan kualitas cetakan luks yang merupakan buku panduan tentang makam Kerkhof Peutjut dan informasi menarik lainnya telah diterbitkan oleh Yayasan Peutjut. Selain buku ini ada juga buku-buku karangan ahli sejarah Aceh juga seperti buku karangan Tjoetje, yang pernah diterbitkan Juni 1972, dalam rangka peringatan 100 tahun perang Aceh melawan Penjajahan Belanda.
Jika pengunjung teliti maka akan ditemukan berbagai kisah mengharukan dan juga lucu tertera pada batu nisan. Mulai dari prajurit yang tewas secara heroik dalam perang tertembus kelewang hingga yang mati konyol ditusuk rencong saat jalan-jalan sore. Ada juga kisah mengharukan dari seorang Letnan muda De Bruyn yang rela meninggalkan acara perkawinannya di Pendopo Aceh yang megah menuju medan perang yang ganas di Seunagan dan menemui ajalnya di sana tahun 1902. Namun sayangnya, banyak tulisan-tulisan di nisan yang telah dirusak oleh tangan-tangan jahil tidak bertanggung jawab.
Salah satu petugas pemelihara makam, Nurhabibah, menceritakan kondisi makam saat ini. Bunga-bunga seperti Melati, Keupula, bouegenvilee, bunga pisang dan lainnya tersebar memenuhi kawasan perkuburan. Batu-batu nisan secara teratur dicat dengan warna putih.
Sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), kantor yang menangani dokumen-dokumen sejarah Aceh, Ridwan, dalam sebuah kesempatan memberikan informasi berkenaan dengan kuburan Belanda Kerkhof Peutjut. Ridwan mengatakan banyak sekali buku-buku yang berkaitan dengan Kerkhof tersimpan di PDIA, walaupun sebagian telah rusak terkena tsunami namun masih sangat bermanfaat.
Sebuah buku tebal dengan kualitas cetakan luks yang merupakan buku panduan tentang makam Kerkhof Peutjut dan informasi menarik lainnya telah diterbitkan oleh Yayasan Peutjut. Selain buku ini ada juga buku-buku karangan ahli sejarah Aceh juga seperti buku karangan Tjoetje, yang pernah diterbitkan Juni 1972, dalam rangka peringatan 100 tahun perang Aceh melawan Penjajahan Belanda.
0 komentar:
Posting Komentar